Tentang Tinggal atau Meninggalkan

Secara ekstrem bisa kukatakan, mungkin aku sudah lama kehilangan perasaan terhadap Persija. Tim pertama yang kudaku sebagai tim kesayanganku. Pembuka gerbang antara diriku dan sepak bola yang menyenangkan. Sepanjang ini, Persija sebenarnya tidak pernah benar-benar membuatku puas apabila melihat dari persoalan gelar. Sebelum dan sesudah sanksi FIFA yang fenomenal itu, paling tidak sejak dualisme liga yang memalukan, Persija hanyalah tim biasa yang turut serta meramaikan liga. Sejenak lupakan dulu gelar juara di 2018. Meski kuharap itu bukan one in million, semoga Persija tidak perlu berpuasa lagi setelah menunggu waktu lama untuk berbuka.

Musim terakhir ditambah tiga laga sebelum kompetisi dihentikan akibat pandemi, hanyalah sepotong kecil dari perjuangan Persija yang tidak pernah mudah. Bukan bekal yang cukup untuk menghadapi kekosongan tanpa sepak bola yang sekalipun tidak pernah masuk dalam dugaan umat manusia.

Sejurus dengan itu, aku juga sudah lama tidak berbagi kisah tentangnya. Membanggakannya di depan orang lain atau membagikan kisahnya yang luar biasa. Benar, Persija hanya tidak memberiku kepuasan gelar, tapi bukan kesenangan. Di waktu-waktu yang tidak mudah itu, aku menemukan alasan untuk tetap mencintai Persija dengan penuh seluruh. Aku mengenal Persija yang pernah membalikkan keadaan di sepotong laga yang hampir tuntas, yang pernah membuatku merasa menjadi makhluk yang paling disayang Tuhan karena doanya sore itu diterima, dan Persija yang pernah membuat sisa hariku yang kelabu menjadi terlingkupi bahagia yang begitu. Persija yang membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.

Bukan perkara gelar yang membuatku bisa bertahan sampai hari ini. Menerima semua kekonyolan yang pernah Persija perbuat atau bisa juga disebut kebodohan. Persija yang dulu-dulu selalu menawarkan kerja keras walau akhirnya tetap pontang-panting, babak belur. Persija yang belakangan ini tidak kutemui lagi.

Aku ingat seberapa rela aku berfrustasi ria demi melihat Persija dihajar lawannya di medio 2016. Atau lebih jauh lagi, menemani Persija di sore yang penuh sesak napas sepanjang 2013. Saat itu, kondisi Persija tidak lebih baik dari hari ini. Tapi toh nyatanya aku tetap di sana, menyenangi Persija sebanyak yang aku bisa.


Source: Twitter @Persija_Jkt

Perasaan seperti itu perlahan hilang bersamaan dengan begitu bercandanya Persija bertanding di lapangan. Sejurus itu pula muncul perasaan khawatir. Harinya Persija seyogyanya adalah semangat tersendiri untukku dalam menjalani hari. Entah sejak kapan atau karena alasan apa, mengetahui Persija akan berlaga hari itu akan membuatku berdebar bahkan sejak malam sebelumnya. Namun, kini, harinya Persija malah membuatku khawatir; jangan-jangan nanti main jelek lagi.

Situasi saat ini, lolosnya Persija ke final Piala Menpora 2021 pun tidak begitu menggembirakan hatiku, malah lagi-lagi perasaan khawatir itu perlahan menggerogoti. Kalau boleh jujur, Persija tidak selayak itu untuk melaju ke final, apalagi kalau nantinya jadi juara. Permainan yang tidak berskema, terlihat mengandalkan kemampuan individu pemain, dan segala apa yang dilihatnya saja sudah tidak enak. Persija yang frustasi dan lawannya yang mengambil kesempatan atasnya adalah hal yang kerap terjadi belakangan ini.

Aku hanya takut ini menjadi anomali. Ketidakpaduan ini diwajarkan atau malah nantinya dirayakan. Melupakan segunung evaluasi yang semestinya dilakukan sejak awal. Persija yang kukenal adalah Persija yang mempersembahkan kerja luar biasa tidak peduli apapun hasilnya. Persija yang membuatku berdebar adalah yang Persija memantik pekik karena tendangannya tipis di samping gawang. Persija yang membuatku jatuh cinta adalah yang bermain dengan sepenuh jiwa dan segenap raga.

Pertanyaan tentang, ‘kenapa aku mencintai Persija’, seharusnya sudah menemui titik. Selesai. Tapi pada malam-malam yang dingin, demi melihat bayangan muka-muka masam yang berseliweran, pertanyaan itu kembali menyapa. Segala hal tiba-tiba terasa muram dan terlampau menyakitkan untuk keputusan berhatan.

Persija, sebenarnya diriku ini tidak cukup penting untukmu. Namun, sebagai orang yang dengan tulus hati mencintaimu, aku berani bertaruh, gelar turnamen pra-musim besok bukanlah suatu hal yang penting. Permainan cantikmu lah yang membuat orang-orang sering futur iman sepertiku bertahan. Aku harap, hal itulah yang besok kamu tunjukkan.

Komentar