Aku Tidak Mau Mendapat Kambing!



Hari sudah masuk waktu sore, langit mulai memancarkan sinar kekuningan dari ujung barat, sebentar lagi matahari digantikan tugasnya oleh bulan untuk menemani manusia dalam pekatnya malam. 

Suatu pemandangan biasa terjadi di Kampung Ture, dengan adat Maluku yang khas, Kampung Ture memberi warna sendiri di wajahnya. Jika hari sudah mulai gelap dan adzan maghrib  sayup-sayup terdengar, orang-orang ramai menghentikan pekerjaannya, masuk ke rumah, lalu keluar lagi menuju langgar, mereka mendirikan salat di sana. Di Kampung Ture, tidak ada mushala apalagi masjid megah, mereka hanya bisa membangun rumah papan sederhama yang dinamakan langgar sebagai tempat berbincang dengan Tuhan-nya. Hal seperti ini sangat lumrah, bahkan anak-anak pun sudah diajari untuk selalu melaksankan wajibnya di langgar.
 
Anak-anak di sini dengan penuh kesadarannya berangkat menuju langgar. Dan seharusnya hari ini sama seperti hari-hari yang lalu, Saleh , Abdul, dan Rizhal bersama-sama menyusuri jalan setapak menuju tempat salat, mereka selalu berebut shaf  paling depan, agar pahalanya banyak, ujar ketiganya.

Namun hari ini lain, Abdul tidak berangkat bersama Saleh dan Rizhal. Saat ditanya Haji Imran, mereka hanya diam, mengangkat bahu, tidak tahu, isyarat keduanya, Haji Imran menghela nafas. Dan, kejadian hari ini pun terulang lagi besoknya, besoknya dan besoknya. Ada apa dengan Abdul? Heran Saleh dan Rizhal. Abdul memang tetap menjalankan ibadah salat di langgar, tapi ia selalu berangkat terlambat, saat iqomah terdengar dia baru bergegas menuju langgar, hal ini pun membuat Saleh dan Rizhal heran.

“Besok aku akan ke rumah Abdul,” Tandas Bimo pada Saeful
“Ya, aku akan ikut dengan mu,” Sahut Rizhal.
Esoknya, mereka berangkat ke langgar lebih awal, mereka akan menuju rumah Abdul dulu.

Setelah mengucap salam, dan Abdul sudah mempersilahkan masuk, Saleh dan Rizhal duduk di pelataran. 

“Ada apa dengan mu, boi?” Saleh memulai cakapnya.
“Ada apa dengan ku? Apa ada yang berubah dari ku?” Tanya Abdul balik.
“Sekarang kau selalu terlambat menuju langgar,” Kini giliran Rizhal membuka mulutnya. Pelataran rumah Abdul lengang, matahari menyisakan ekor sinarnya yang lembut, hanya deru nafas ketiganya yang tersapu angin.

“Jujur boi, aku sedang ketagihan game, karena itu aku selalu terlambat pergi salat” Ucap Abdul akhirnya. Saleh dan Rizhal menunduk, ah mereka juga dulu senang bermain game hingga lupa kewajibannya, masalah klasik, pikir mereka.

“Seberapa penting game itu untuk mu, boi?” Rizhal merangkul pundak sahabatnya itu. Yang dirangkul malah menunduk, lalu menggeleng.  

Boi, maukah kau ku ceritakan sesuatu?” Saleh memandang wajah kedua sahabatnya. Abdul dan Rizhal mengangguk, mempersilahkan Saleh bercerita.

“Pada suatu waktu, ada sebuah kerajaan, seperti kerajaan pada umumnya, mereka memiliki putra mahkota yang diagungkan. Suatu ketika, sang putra mahkota diculik dan diketahui penculiknya meninggalkannya diatas bukit.

“Tentu, sang raja memiliki anak buah yang sanggup untuk menolong sang putra, namun raja berfikir lain, dia membuat pengumuman bagi siapapun warganya yang bisa membawa balik putranya dengan selamat ia akan mendapat unta, jika dalam keadaan tidak bernyawa mendapat sapi, dan jika sudah sampai di atas bukit namun tidak sanggup membawa putranya akan mendapat kambing. Perlu diketahui, bukit itu tidak mudah untuk didaki, menurut kepercayaan mereka hanya orang-oang yang diberkati Tuhan saja yang mampu mendaki bukit itu. 

“Salah seorang pemuda kampung di sana tertarik mendengar kabar ini, dia ingin menjadi yang pertama mendaki bukit itu dan membawa pulang sang pangeran, tapi dia terlalu malas untuk sekedar mempersiapkan keberangkatannya itu, setelah hampir sekian lama akhirnya ia pun berangkat juga. Setelah melakukan perjalanan panjang dan melelahkan, tak disangka bahkan oleh dirinya sendiri, ia sampai di pucuk bukit itu, tugasnya sekarang adalah untuk membawa pulang sang pangeran, namun sejauh mata memandang tidak ada tanda-tanda sang putra mahkota, setelah ia terus mencari dan tidak ketemu, akhirnya ia memutuskan turun, sesampainya di kerajaan, ia sangat kaget karena sang putra mahkota sudah ditandu menuju rumah sakit istana. Ia begitu menyesal karena tidak segera mendaki bukit itu dan mencari putra mahkota. Dengan ini, ia hanya mendapat kambing, padahal harga unta dan kambing sangat jomplang saat itu.”

“Apa kau mengerti maksud cerita ini, boi? Cerita ini bapak aku berikan saat aku mulai malas pergi ke langgar. Apa kau mau hanya mendapat kambing Dul, padahal dahulu kita selalu menduduki shaf paling depan dalam salat?” Pungkas Saleh. Rizhal mengendurkan tangannya, menatap Abdul. Yang ditatap menunduk kian dalam, kemudian ia mengangkat wajahnya dan tersenyum.

“Aku tidak mau mendapat kambing, boi.” Abdul beranjak, mengambil sarung dan mereka bertiga tergelak bersama.


Komentar