Persija Jangan Jemawa


(15/9)
Meski seharusnya tidak boleh, saya masih suka membandingkan bagaimana cara Julio dan Teco menghadapi kritik keras Jakmania. Dua tahun lalu, 2017, saat Teco dan Pak Gede, orang-orang baru di Persija, dianggap gagal menangangi Persija, banjiran kritik merendam mereka. Saya tidak perlu membaca lagi karena otak saya merekam dengan jelas bagaimana kekeuhnya Teco saat jakmania menyuruhnya mundur. Bahkan manajemen sudah memberi ultimatum, tapi Teco memilih bertahan dan bekerja keras mencari jalan keluar untuk tim asuhannya. Di akhir musim 2018 lah, akhirnya Persija dan seluruh elemennya bersyukur untuk tidak mendepak Teco waktu itu.

Begitulah cara Teco, cara Julio beda lagi. Ia memilih bungkam untuk urusan posisinya sebagai pelatih. Saat konferensi pers, ia lebih memilih membahas pertandingan yang baru saja usai, dengan sedikit menambah puji-pujian untuk pemainnya. Tidak ada yang salah dari keduanya. Saya pikir, Teco dan Julio adalah dua sosok yang sangat berbeda. Teco sangat ekspresif di pinggir lapangan, sedangkan Julio hanya bereaksi seperlunya. Teco gemar berteriak kalau ada pemainnya yang out of position atau sekadar berteriak untuk menambah semangat, sementara Julio lebih banyak diam mengamati.

Seminggu kebelakang, kritikan keras hampir terus menyerang Julio Banuelos, pelatih Persija selepas mundurnya Ivan Kolev. Tagar #JulioOut mulai bertebaran, bahkan lebih ramai dari #IvanOut atau juga saat dua tahun lalu #TecoOut menggaung. Persija terpuruk seada-adanya. Paruh musim sudah lewat, 17 tim sudah mereka lawan, tapi Persija hanya mampu menang sebanyak 2 kali. Awal musim yang paling buruk 5 tahun terakhir. Tidak hanya itu, skema penyerangan Persija pun tumpul beberapa laga kebelakang. Selisih golnya minus 2, sangat memprihatinkan.

Sore tadi, saya tidak berharap banyak. Padahal sebelumnya saya pernah menaruh ekspektasi tinggi untuk tiga pemain baru Persija di paruh kedua musim, tapi ternyata di debut mereka, Persija kalah 0-2 dari Persipura. Permainan Persija juga tidak berkembang banyak, seperti yang pernah saya tuliskan, permainan Persija tidak buruk. Mereka menguasai statistik, itu data, fakta. Namun, untuk apa menang di statistik kalau tidak bisa mencetak gol. Meski unggul penguasaan bola, pemain Persija sering melakukan kesalahan elementer, salah umpan misalnya. Kesalahan yang bahkan di seleksi SSB tidak boleh terjadi.

Ya, akhirnya Persija memang menang. Unggul 2-1 atas PSIS Semarang. Namun, masih banyak sekali pekerjaan rumah untuk pelatih dan pemain. Salah satunya mental. Terasa sekali, sejak tidak pernah menang dan tuntutan jakmania semakin sering, pemain Persija seperti tidak bermain dengan hati. Mereka hanya bermain untuk menang, memenuhi dahaga jakmania. Tidak jarang saya melihat pemain-pemain Persija mulai emosi kalau mengalami situasi deadlock, terburu-buru, mulai bermain umpan panjang ke depan, dan berbagai skema tidak jelas lainnya.

Yang bermain dengan hati itu berbeda. Yang bermain dengan riang gembira itu berbeda. Yang bermain dengan tulus itu berbeda. Kemana hilangnya? Jangan jadikan keinginan jakmania untuk menang itu sebagai beban, tapi ini adalah tanda bahwa kami tidak meninggalkan kalian. Kami akan terus ada satu tingkat di bawah kalian untuk mendorong.

Persija, jangan pernah mudah menyerah, kemenangan di depan mata. Di bawah langit biru, kami telah berjanji kamu tidak akan sendiri.

Persija, jangan jemawa. Sesungguhnya jemawa erat kaitannya dengan kehancuran. Dan Persija, prestasimu boleh saja setinggi langit, tapi pastikan kakimu tetap menjejak bumi.


sekian.

Komentar