Tanpa Judul


Akhir-akhir ini saya sering mendengungkan, ‘Terserahlah, aku mau pindah ke luar negeri saja!’ saat melihat dan mendengar apa-apa yang terjadi di negeri ini. Malam ini, sesaat sebelum saya memutuskan menulis cuap-cuap ini, saya kembali menjatuhkan air mata. Bagi yang paham saya, pasti tahu, setelah sadar hidup, saya sangat sangat jarang menangis.

Air mata itu lolos begitu saja saat lagu milik Rara Sekar yang berjudul Apati hadir di ruang dengar saya. Tepatnya di lirik ‘Jika Tuan telan semua, mana untuk kita? Jika tanahpun tak bersisa, adakah untuk kita?’ Lirik itu mengingatkan saya pada film yang menghebohkan kita sekitar seminggu kebelakang, film dokumenter berjudul ‘Sexy Killers’. Pikiran saya langsung bertautan menyambung semua. Lirik ‘Jika Tuan telan semua, mana untuk kita?’ benar-benar ada bukti nyatanya. Petani, pekerja ladang, dan kita-kita ini yang statusnya rakyat biasa di negeri ini sering mendapat ketidakadilan, entah itu atas nama pembangunan, relokasi, atau hal ‘baik’ lainnya.

Air mata itu membuat saya sadar, negeri ini tidak baik-baik saja. Namun, toh tidak ada negeri di dunia ini yang ‘baik-baik saja’ bukan? Lantas bagaimana? Apa saya teruskan saja niatan pindah ke luar negeri itu? Saya sudah capek melihat anomali, distorsi, dan semua keanehan di Indonesia. Orang sinis pasti berkata, ‘Sok banget ngurusin negara, urusin diri sendiri aja belum bener.’ Nah! Justru itu, justru karena itu. Saya hanya ingin hidup tenang dalam keselarasan, hukum alam berjalan sebagaimana mestinya, dan tidak ada yang menyilangi ‘seharusnya’. Bukan kamu juga ingin begitu?

Pernah pada satu titik pikiran saya berhenti di ‘Kenapa aku dilahirkan di Indonesia? Kenapa harus di tempat yang seperti ini dengan kondisi yang begini?’ Tanpa sedikitpun melunturkan rasa syukur terhadap hidup, saya pernah berpikir demikian. Tahun saya lahir, di wajah Indonesia masih terdapat sisa-sisa perjuangan reformasi, belum stabil betul. Saya pikir semakin beranjak usia saya, Indonesia semakin memperbaiki diri. Nyatanya? Tidak semua. Beberapa memang ada yang berbenah, sisanya? Saya tidak tahu pasti, meski cenderung menyangsikan.

Saya pernah begitu mencintai Indonesia, sama seperti saya pernah begitu membenci Indonesia. Nyatanya Indonesia memang ambivalensi.

Huh, bingung.

Mungkin hanya ada di Indonesia petugas pemilu bisa sampai meninggal. Mungkin hanya ada di Indonesia orang bodoh sok maju menjadi wakil rakyat dimana seharusnya dia lah yang diwakili. Mungkin hanya ada di Indonesia dua kontestan pemilu sama-sama mendeklarasikan kemenangan ada di pihaknya. Lebih dari soal politik, banyak hal aneh lain yang mungkin hanya ada di Indonesia.

Ibu pertiwi sedang merintih dan berdoa, apa kalian dengar jeritnya? Apa kalian merasakan rintih senyapnya? Ibu pertiwi yang sedang bersusah hati bersama mereka yang setiap Kamis sore berdiri di bawah payung hitam, bersama mereka yang menangis menengok kondisi rumahnya yang hancur bersama iming-iming ‘Anda akan mendapat hidup yang lebih layak’. Ibu pertiwi bersama mereka yang mempertanyakan kemana anaknya pergi, bersama mereka yang mempertanyakan ketertindasan, dan bersama mereka juga kita yang memperjuangkan ketidakadilan yang diri ini, keluarga, kerabat, dan sahabat kita rasakan.

Kata Rara Sekar dalam lagu itu, ‘Suarakan!’ Iya, suarakan resah, kecewa, dan segala yang membuncah di dada agar mereka yang pura-pura tuli tidak beneran tuli. Suarakan sampai mereka yang duduk mewakili kita benar-benar berpihak pada kita. Lebih lanjut, ‘Suarakan hingga pantulannya pecahkan dinding yang memisahkanmu dan kita’

Ya, akhirnya saya sadar. Dengan meninggalkan tanah ini, tidak akan memerbaiki apapun. Dengan bersikap apatis terhadap segala kisruh di negeri ini akan memperbanyak peluang tikus-tikus licin menjalankan kapal besar bernama Indonesia ini sesuka hatinya. Rasa cinta itu masih ada, lahir bersama hadirnya nyawa di raga saya dan nantinya akan padam bersama hilangnya nyawa di raga saya.

Karena mungkin hanya ada di Indonesia suara debur ombak pantai lebih menenangkan dari apapun, mungkin hanya bisa dirasakan di Indonesia rendang dan nasi padang lebih nikmat dari apapun, mungkin hanya ada di Indonesia negeri di atas awan, mungkin hanya ada di Indonesia malam lebaran lebih ramai dari malam-malam lain, dan mungkin hanya Indonesia yang sanggup menampung jutaan cerita, jutaan canda, jutaan tangis, dan jutaan-jutaan lainnya. Hanya Indonesia yang bisa. Dan kita bertugas menjaga kapal ini terus melaju menuju tujuannya, salah satunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

p.s.
Tulisan ini saya tulis tidak lebih dari satu jam. Murni hasil kericuhan hati saya. Spontan. Karena alasan itu dan berhubung saya tidak pandai membuat judul, untuk sementara saya tulis 'Tanpa Judul' dulu ya. Barangkali ada yang bersedia memberi judul untuk tulisan ini, saya dengan senang hati menerima, tapi saya tidak janji akan memakainya. Namun, pasti akan saya pertimbangkan. Thx!

Komentar