Menakar Kesetiaan Suporter Sepak Bola


Konon katanya, saat ini kesetiaan adalah hal yang paling mahal harganya. Setia pada apapun dan pada siapapun. Di dunia yang makin penuh intrik dan kebohongan ini setiap orang seperti memiliki kepentingan dan urusannya masing-masing untuk dekat dengan sesuatu atau seseorang. Ada yang memiliki kepentingan ingin dibela, urusan agar dilindungi, sampai ada yang mendekat hanya agar kecipratan pembagian kekuasaan.

Setia seakan menjadi barang asing bagi sebagian orang. Atau hal yang sama sekali baru bagi sebagian lainnya. Sepertinya, orang-orang macam mereka harus berguru pada Bonek, kelompok suporter militan milik Persebaya (atau yang memiliki Persebaya?) Kita tentu tidak akan pernah lupa bagaimana heroiknya Bonek mengawal penyelesaian kasus dualisme Persebaya awal 2017 lalu. Perjalanan lebih dari 15 jam dari Surabaya rela mereka lakukan untuk gruduk langsung KLB PSSI yang saat itu digelar di Bandung.

Kita juga tentu mengenal kisah Panser Biru, suporter PSIS Semarang, yang sampai harus tega merusak Jatidiri karena tim yang mereka dukung bermain mata di pertandingan terakhir babak grup Divisi Satu musim 2001. Nyawa-nyawa yang merebah selepas bentrokan antar suporter tentu sudah menjadi lagu lama di persepakbolaan Indonesia. Juga kaki-kaki yang melangkah melewati gerbang stadion tiap sabtu malam. Hal-hal seperti itu lah yang kiranya bisa kita sebut kesetiaan atau paling tidak mereka akui sebagai bentuk kesetiaan.

Belum lama, kita mendengar aksi boikot dari teman-teman BCS, suporter PSS Sleman yang selama ini kita kenal dengan kekreativitasannya. Kita semua tentu tahu betapa cintanya publik Sleman pada klub berjuluk Super Elang Jawa itu. Aksi boikot yang BCS lakukan tentu bukan ekspresi dari kebenciaan, justru itu adalah ekspresi dari rasa cinta dan setia. Mereka tahu harus ada yang dibenahi dari sosok-sosok white-collar worker di tubuh PSS. Mereka tentu tidak ingin sesuatu yang dicintainya hanya menjadi alat pemuas pribadi bagi para pemangku kepentingan di atas sana. Hal yang sama tentu akan dilakukan kelompok suporter manapun, saya pikir. Tentu dengan cara yang dewasa.

Inilah suporter, sekelompok orang yang menyaksikan pertandingan sepak bola bukan hanya dengan raganya, tapi juga dengan hatinya. Dengan segenap emosi yang membuncah dalam dadanya. Kalau kata Eyang Sapardi, ‘Tak ada yang lebih indah dari hujan di Bulan Juni.’ Kalau kata saya, ‘Tak ada yang lebih indah dari tulusnya kesetiaan suporter pada klub kesayangannya.’ Dalam susunan hierarki sepak bola, saya bisa dengan yakin menyebut suporter adalah elemen paling setia dalam tim. Manajemen boleh silih berganti, jejeran pelatih bisa dibongkar pasang, pun pemain. Namun, suporter tidak bisa. Mereka datang dengan sepenuh jiwa. Tanpa diminta. Mereka rela berdiri, berteriak, dan bernyanyi untuk mendukung timnya meski dia sendiri tidak tahu bagaimana hasil akhirnya, pemenang kah atau malah menjadi pecundang? Mereka rela menyisihkan waktu dan uangnya untuk hadir langsung di stadion, padahal mereka tidak mendapat apa-apa secara materil.


Kita boleh heran, kenapa bisa sedalam itu mencintai? Sebanyak itu untuk berkorban? Ya, karena begitulah sepak bola ditumbuhkembangkan. Suporter yang sering dianggap bodoh, hanya tahu rusuh dan rusuh, ternyata bisa begitu berpengaruh pada tim. Namun, pada dasarnya jika kita bertanya pada mereka, apa merasa berkorban? Hampir pasti jawabannya tidak. Sederhana, seperti yang pernah Mbah Tedjo sampaikan pada suatu kesempatan, ‘Kalau kalian merasa berkorban untuk apa yang kalian perjuangkan, itu tandanya kalian sudah tidak cinta dengan hal itu.’ Got it?

Terakhir, sudah saatnya memandang suporter sebagai subjek perubahan karena nyatanya suara mereka lebih lantang menentang kebusukan. Lebih memekik membela orang-orang yang tercekik. Dan yang terpenting adalah lebih setia dari petinggi yang semakin kencang mengeratkan dasi.

Komentar