'Saya' di Masa Depan



Menjadi jurnalis adalah salah satu dari sekian pekerjaan yang ingin saya geluti. Yang ada dalam otak saya mendengar kata jurnalis adalah keren. Ya, menjadi jurnalis itu keren tiada duanya, bagi saya. Tepatnya saya tidak tahu mengapa, tapi kata orang, ‘Mungkin kamu terobsesi ingin bertemu orang penting.’ Jika dipikir-pikir, emm bisa jadi. Namun, tidak sebatas itu saya kira. Rasanya sangat asik jika kita adalah orang pertama yang mengetahui berita yang akan keluar di surat kabar esok hari. 


Saya kira, pernak-pernik tentang kejurnalisan adalah suatu keharusan untuk saya ketahui. Karenanya, saya sangat bersyukur saat tim jurnalistik sekolah saya mengadakan lawatan ke kantor redaksi ‘Suara Merdeka’ cabang Banyumas, pada Selasa (3/10) kemarin.


Di sana kami bertemu dengan Bapak Sigit Oediarto selaku kepala biro redaksi, beliau membimbing kami untuk mengetahui hal-hal tentang jurnalis. Beliau menjelaskan, di eks-Karesidenan Banyumas ini ada 19 wartawan, 11 orang diantaranya bertugas di Banyumas dan sisanya di beberapa daerah lainnya. Sebagai seorang jurnalis, Pak Sigit menerangkan, mereka harus siap jika diutus untuk liputan, dimanapun. “Sumber berita ada dua, kami bisa terjun langsung ke lapangan atau bisa mengorek informasi dari narasumber, keduanya sama pentingnya.”


Setelah para wartawan mencari berita, selanjutnya mereka menuliskan hasil liputannya. Hidup seorang wartawan itu penuh dengan deadline, tidak nanggung-nanggung, deadline yang diberikan hanya hitungan jam. “Sebagai jurnalis, kami harus siap hidup dalam tekanan. Ya, karena tekanan seorang jurnalis sangatlah besar, termasuk dikejar deadline,” jelas Pak Sigit.


Saya berkesempatan untuk masuk ke dalam ruang redaksi, mengamati tiap kubikel yang berisi jurnalis-jurnalis yang sedang sibuk membuat berita. “Kalau kalian bertanya, kok jurnalis bisa tahu ini-itu, ngerti sana-sini. Ya jurnalis kan juga manusia yang hanya punya mata dua dan telinga dua, kok bisa tahu? Itu karena kami memiliki relasi dengan banyak orang,” Pak Sigit menjelaskan, kalau jurnalis harus bisa membangun suatu hubungan yang baik dengan masyarakat, itu semua tidak mengarah pada KKN, tapi tidak lebih supaya mereka bisa menggali informasi yang terjadi di masyarakat dengan mudah dan yang pasti akurat. 


Kantor ‘Suara Merdeka’ yang saya kunjungi beberapa waktu lalu adalah kantor cabang, sedangkan kantor pusat ‘Suara Merdeka’ ada di Semarang. Oleh karena itu, setelah berita selesai dibuat mereka harus langsung mengirimkannya ke Semarang. Dewasa ini, pengiriman berita tidak lagi susah seperti zaman dahulu, mereka biasa menggunakan e-mail. Setelah berita sampai di tangan redaktur di Semarang, redaktur akan memeriksa kembali berita itu. Tidak semua berita akan naik cetak, berita terbaiklah yang harus sampai di tangan pembaca. Karenanya, tidak sampai di situ, setelah redakktur memeriksa, naskah berita akan diperiksa kembali oleh redaktur pelaksana. Baru setelah dirasa berita itu cukup layak naik cetak dikirim ke layouter untuk setelahnya dikirim ke percetakan. Kantor cabang Banyumas memiliki percetakan sendiri di Purwokerto, sehingga berita-berita yang sudah di-layout akan dikirim kembali lewat e-mail ke Purwokerto.


Suatu berita membutuhkan proses yang panjang sebelum akhirnya bisa dinikmati para pembaca, dengan proses sepanjang itu tentu akan terasa sia-sia jika sepi peminat. Karenanya, urusan tentang konsumen dan sejenisnya diatur tersendiri dalam bidang pemasaran. Bidang inilah yang memastikan penjualan surat kabar ‘Suara Merdeka’ berjalan dengan lancar. Tentu bidang ini pulalah yang akan pusing jika oplah bulan ini tidak mencapai target. Di ruang pemasaran, saya sempat melihat kertas yang terpajang di dinding, hurufnya kapital, sangat jelas terbaca ‘OPLAH BULAN INI HARUS LEBIH BAIK DARI BULAN KEMARIN’. Saya rasa bagian inilah yang memiliki tugas terberat.


Akan tetapi, jika ditelusuri lagi, aliran pemasukan surat kabar tidak hanya dari konsumen, tapi juga dari iklan. Kata Pak Sigit, iklan sudah seperti nafasnya surat kabar, “Tanpa iklan bisa apa kita?” kekehnya. Nah, urusan periklanan ini juga diatur sendiri di bidang periklanan.


Lalu, berbicara mengenai minat baca surat kabar, menurut hemat saya media cetak sudah mulai tergerus dengan hadirnya media online. Namun, saat ditanya perihal ini Pak Sigit dengan tenang menaggapi, “Media cetak akan selalu punya tempat di masyarakat. Mengapa kami bisa eksis sampai hari ini? Inovasi, kami yakin dengan adanya inovasi surat kabar akan terus diminati.”


Akhirnya, setelah kurang lebih 2 jam berbincang, saya dan tim jurnalistik saya undur diri. Sebuah pengalaman yang hebat bisa melihat perjuangan para kuli tinta di sini. Pak Sigit tersenyum saat kami mengucapkan terimakasih, “Saya tidak berharap kalian semua menjadi jurnalis, tapi jadilah penulis. Karena yang menulis bukan selalu jurnalis,” pungkasnya. 


Bersama satu dua rinai hujan, saya lagi-lagi bersyukur telah dipertemukan dengan ‘saya’ di masa depan.

Komentar