Arti Setia






Setia. Apa yang ada dalam pikiranmu mendengar kata setia? Ya, aku tidak bisa menebaknya, terlebih karena aku memiliki makna setia tersendiri.



.

Saat itu pagi hari. Seperti kalian, yang pagi hari sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah, pun dengan ku yang selalu repot di pagi hari. Aku suka pagi, karena pagi selalu menawarkan pengalaman baru padaku. Karena pagi adalah waktunya untuk merajut mimpi yang terbayang malam tadi. Karena pagi adalah awal dimulainya kehidupan.

Namun pagi itu, pagi yang paling ku benci dalam 12 tahun hidupku. Aku diberi tahu ibu bahwa Aldira, sahabat ku masuk rumah sakit. Aku tidak mau sekolah, aku ingin menemuinya. 

Melihatnya dalam balutan selang-selang khas rumah sakit membuatku merinding. Wajahnya yang mungil terlihat pucat. Anemia akut, entah penyakit apa itu, yang pasti itu penyakit yang berbahaya hingga merenggut senyum manis dari wajah Aldira.

Setelah aku membenci pagi itu, ternyata aku lebih membenci penyakit itu. penyakit yang membuat Aldira tidak ada di kelas bersamaku untuk waktu yang lama. Penyakit yang membuat Aldira tergolek lemah tak berdaya. 

Selama Aldira sakit, aku setiap hari mengunjunginya. Tubuhnya kian lemah sekarang. Ibu bilang, kita harus mendoakannya. Ya, tidak ada lagi hal yang bisa ku perbuat selain mendoakannya. Berharap ia cepat sembuh.

.

Aldira, anak yang manis. Aku beruntung memiliki sahabat seperti dirinya. Dialah sahabat setimanganku, seayunan, dan se-se lainnya. Aku menyukai perangainya yang selalu ceria, yang  selalu optimis menjalani harinya. Aku kagum padanya, yang baik budinya, yang elok pekertinya. 

Sore ini, aku tengah duduk di luar kamar rumah sakit Aldira, hanya beberapa langkah dari pintu. Aldira belum siuman sejak kemarin. Apa separah itu?, batinku. 

“Bianca!” Aku menoleh, ibu. “Aldira ingin menemuimu,” aku tersentak. A-aldira sudah bangun? Raut wajahku mengatakannya. Ibu menggangguk, memberi jalan untuk ku.

Aldira masih mengerjap-erjap saat aku menghampiri kasurnya. “Bianca…,” suaranya tercekat. “Aldira,” aku menyentuh tangannya perlahan. “Sejak kapan kamu di sini?” Aldira berusaha bangkit, aku menggeleng, jangan. Aldira ikut menggeleng, menyiratkan aku bisa. “Sejak pulang sekolah,” aku mejawab setelah memastikan Aldira baik-baik saja. “Aah, apa aku merepotkan mu?” Aldira berkata lirih. Aku menggeleng cepat, tidak, tidak sama sekali. “Mengapa kau mau menungguiku, padahal kau bisa melakukan sesuatu yang lain? Apa kau tidak capai?” Aku terhenyak, mengapa kata-kata itu terucap dari bibir Aldira? Apa dia tidak senang aku menungguinya? “Aku mengkhawatirkan mu,” ucap ku.

“Aku lebih memilih capai menungguimu, Dir, mengurusmu, membantumu, daripada aku harus capai mencari sahabat yang seperti dirimu lagi,” air mata ku meleleh, Aldira sudah terisak sejak tadi. “Aku bermimpi…” kata Aldira menggantung “Aku bermimpi kehilanganmu,” Aku tersentak, berusaha memeluknya. Dalam tangis ku katakan, “Kau tidak akan kehilangan aku, begitu pun aku juga tidak akan kehilangan mu,” 

“Terimakasih, terimakasih, Bi” peluknya kian erat.

.
Saat itu umur ku 12 tahun. Dan aku belajar arti setia.

Komentar