Impian Masa Kecil


“Ibu!” Teriakan anak kecil itu menggantung. Dia terus mengulang kalimat yang sama, dan perempuan yang ia sebut ibu itu bergeming. Perempuan itu dengan langkah cepat berjalan menyusuri anak jalan, dia tidak berjalan dengan tenang, malah terkesan terburu-buru. Tiba-tiba langkahnya terhenti, ada apa ini?, batinnya. Tepat di depan matanya, banyak jeep terparkir, hatinya gundah, antara melanjutkan perjalanan atau berbalik dan pulang ke tempat asal. Dia takut, dia hampir saja berbalik badan dan mengambil langkah seribu, tapi, perjalanannya sudah sangat panjang, dia memutuskan untuk berdiam diri di situ, sementara anak kecil yang tadi terus memanggilnya, ikut terdiam.


*


“Saleh, makanlah dengan ku hari ini,” Pinta Burhan pada ku. “Hei Burhan, ada apa gerangan kau ingin sekali makan denganku? Saat ini aku tengah sibuk, tak kau tengok  sedang apa aku sekarang?” Jawab ku menggoda Burhan. “Hei, tak taukah dirimu, kau akan diangkat menjadi bawahan bos? Dan aku ingin menjadi orang pertama yang bersantap siang dengan mu!” Kini aku terdiam, aku teringat kemarin aku bersikeras untuk tidak menjadi bawahan bos karena usia ku masih sangatlah muda; 26 tahun. Beban yang terlalu berat buatku, tak kusangka, bos benar-benar menginginkan ku menjadi tangan kanannya.


*


“Ibu, ada apa gerangan kau di sini? Tersesatkah dirimu?” Tanya orang berbaju oranye itu. Sekilas aku mengiranya petugas pemadam kebakaran yang sering ibu ceritakan kepadaku. Tapi, aku melihat sekililing tidak ada kebakaran di sini. Sejurus dengan itu, tubuh ibu kian lemah menggenggamku, dan kurasakan ibu merasakan ketakutan luar biasa pada petugas ‘pemadam kebakaran’ itu. Entah mengapa. Tak lama, dengan sekuat tenaga, ibu mengencangkan genggamannya dengan tanganku dan mulai kembali berjalan. Petugas berbaju oranye itu terus bertanya setelah pertanyaan pertamanya tak dihiraukan. Perempuan paruh baya itu tak acuh, dia tetap melanjutkan perjalannya. Dan petugas yang tadi itu sudah berhenti bertanya. 


Akan dibawa kemana diriku ini? apa maksud ibu membawa dirinya dan diriku kesini? Walau aku masih kecil, tapi aku mengerti ini adalah jalan menuju luar hutan, bukankah ibu takut dengan berbagai hal asing? Tetapi ternyata tidak. Perjalanan kami lagi-lagi terhenti dengan kehadiran para ‘orang kota’. Mereka menawarkan tumpangan pada kami, awalnya ku pikir ibu tidak mau menerimanya, tapi ternyata ibu menerimanya, mungkin karena ibu sudah kelelahan dan sudah tidak sanggup berjalan lebih jauh lagi. Orang-orang tadi menawarkan kami untuk kembali lagi ke tempat asal kami, yaitu di pedalaman, tapi ibu tidak mau, aku yang tidak tahu apa-apa pun ikut memasang muka tidak setuju. Tapi akhirnya setelah pembicaraan yang alot ibu mengalah, kami berbalik arah dan kembali kerumah kami.


*


Siang tadi aku jadi makan dengan Burhan, ia terus memaksa ku dan dia memberi iming-iming akan mentraktir ku walau akhirnya aku yang harus membayar karena dompetnya ketinggalan di tas di kantor, tapi tak apa lah, hitung-hitung menjadi selingan ditengah rutinitas sehari-hari ku yang padat. Selama perjalanan pulang dari tempat makan siang tadi aku teringat sesuatu, sesuatu yang terus membayangi pikiranku. Sesuatu yang telah menjadikan ku seperti ini.


*


Kami masuk ke dusun dengan berjalan kaki, Pakcik Ramli, petugas konservasi lingkungan yang baru ku tahu namanya kurang dari tiga puluh menit yang lalu itu harus menyelesaikan pekerjaanya. Kami melewati rumah kepala dusun yang ramai. “Ibu, ibu, mari ke rumah pak kepala dusun,” Rengek ku. “Ada apa tu?” Tanya  ibu dengan logat melayu yang kental. “Entah,” Jawab ku datar. Ibu menuntun ku kedalam rumah pak kepala dusun. “Assallamualaikum, pakcik.” Di rumah pak kepala dusun ada dua orang yang tak ku kenal. “Siapa ni pakcik?” Tanya ku sambil menyalami tangan kedua orang itu. “Ha Amir, inilah kak Setyani dan Kak Ruli yang akan membantu mu belajar huruf,” Jawab pak kepala dusun. Beberapa waktu lalu pak kepala dusun memang bilang akan mendatangkan dua pengajar dari Jakarta, dan lihatlah, beliau benar-benar melakukannya.


Aku menatap ibu, dari matanya aku tahu ibu khawatir dengan orang asing itu. Tak usah ditanya bagaimana anak sekecil diriku bisa membaca wajah, di pedalaman ini aku dewasa sebelum waktunya, tapi ya namanya anak kecil tetaplah anak-anak, aku tetaplah anak-anak yang lugu. “Amir, kau nak belajar?” Tanya ibu tiba-tiba. “Nak!, Amir nak belajar membaca, menulis, dan berhitung. Amir nak jadi bos besar ibu!” Seru ku, ibu hanya tersenyum. “Tidak semua orang asing jahat Amir, belajarlah jika kau ingin,” Kini ibu tersenyum, aku pun ikut tersenyum. 


*


“Selamat pagi semuaa,” Sapa kak Setyani ceria. “Hari ini kita akan belajar membaca, siapa mau bisa membaca? Semua pasti mau bisa membaca, dengan membaca kita bisa menggenggam dunia lho, kita bisa jadi apa aja yang kita mau,” lanjutnya. Setelah itu kami belajar mengenal huruf dan lain-lain. Tapi aku tak faham apa yang dimaksud dengan menggenggam dunia, jam istirahat nanti akan kutanyakan, batin ku.

Saat jam istirahat tadi, aku jadi bertanya pada kak Setyani, menurutnya, seseorang yang bisa menguasai ilmu pengetahuan dan disegani banyak oranglah yang disebut penggenggam dunia. Sejenak aku bertanya lagi, apa aku bisa? Lantas bagaimana caranya?. Kata kak Ruli, yang juga ikut nimbrung dengan ku dan kak Setyani, semua orang bisa menjadi apa yang diinginkannya, hanya tinggal dia mau memperjuangkannya atau tidak. Lalu aku bertanya lagi, apa ada seseorang di negeri ini yang sudah menjadi penggenggam dunia? Mereka berdua diam, sejenak berkata lagi “Ada, tapi mereka belum bisa membuat negeri ini disegani, Ah Amir, apa kau tahu tujuan kami kesini?” “Tau, kakak-kakak ini mau mengajarkan  kami membaca kan?” Mereka berdua tersenyum, “Kita mau semua anak-anak di sini bisa menjadi orang yang bisa menggenggam dunia, disegani banyak orang, menguasai ilmu pengetahuan, berdiri di depan menantang dunia, bermental baja. Ingat Amir, jadilah orang yang bergerak maju, jangan hanya jalan ditempat atau malah berhenti, jadilah orang yang berpikiran berkembang, jangan mau kau dibodohi zaman, oke?” Aku mengangguk mantap. Akan selalu kuingat kata-kata itu kak, seru ku dalam hati.


*


Aku sudah berada di ruang bos setelah bos memanggil ku kurang lebih lima menit yang lalu. Tetapi, selama lima menit itu tidak ada pembicaraan yang terjadi. Hingga, bos berdehem pelan, “Saudara Sholeh, kutanya pada mu sekali lagi, maukah kau menjadi asisten ku? aku memilih mu bukan tanpa alasan, banyak hal yang sudah kutimbang, dan bagi ku kau pantas berada di sisiku.” Aku berpikir keras.


*


“Amir, tahukah, saat ini bapak mu tengah mencari uang untuk mu, tapi itu janji-janji manisnya dulu, aku yakin di sana ia telah sukses, ia terlalu bahagia untuk menengok masa lalu nya, aku mempersilahkan kau belajar agar kau bisa mengabdi pada negara mu ini, mengerti bagaimana kerasnya  perjuangan para pelindung nama bangsa, dimasa depan, kaulah pelindung nama bangsa itu Amir.” Ibu lagi-lagi tersenyum, aku tak habis pikir, apa kerutan di wajahnya itu karena dia sering terseyum? Entahlah, yang kutahu setiap ibu terseyum aku selalu merasa bahagia. 


*


“Kak, lalu jika ada penggenggam dunia di negeri ini, mengapa daerah pedalaman tidak tersedia ilmu pengetahuan?” Kini aku sedang berada di bibir laut terluar Indonesia, dari sini aku bisa melihat gedung-gedung tinggi milik negara tetangga, bersama kak Ruli. “Hei Amir, kau pikir kami kesini bukan untuk menyediakan kau dan kawan-kawan kau itu ilmu pengetahuan? Bukankah kau sendiri yang bilang kami kesini untuk mengajarkan mu membaca?” Gurau kak Ruli, aku menunduk malu. “Nah Amir, kau lihat para pelaut itu,” Sahut kak Ruli. “Dia seorang yang bisa mengendalikan laut, dia memahami laut, tapi apa laut takut padanya? Tidak. Setiap pulang bajunya harus basah kuyup, untuk berdamai dengan laut, dia harus bisa jadi penguasanya, dia harus bisa menguasai seluk-beluk laut, mungkin setiap pulang bajunya akan basah, tapi tidak akan kuyup.” Lanjutnya. “Untuk bisa jadi penggenggam dunia yang disegani orang banyak, kau harus bisa menguasainya, untuk itulah kau diajarkan imu pengetahuan. Perjuangan mu ketika mencari ilmu pengetahuan itu mungkin akan sulit, tapi saat kau sudah menjadi seorang yang menguasai ilmu pengetahuan, perjuangan mu tidak sesulit saat itu.” Tutupnya. Sekarang, kami sedang menikmati matahari mencapai tempat beristirahatnya, mengumpulkan lagi energi untuk melihat cerita banyak orang esok hari.


*


Aku belajar banyak dari masa kecil ku. Sejak sebelum matahari digantikan tugasnya oleh bulan sebagai peneman manusia, aku tersenyum, menangis, terharu, menerawang masa lalu ku yang penuh pelajaran. 


Ku terima jabatan sebagai asisten bos, kini aku merasakan mimpi ku semakin dekat, mimpi untuk menjadi penggenggam dunia semakin dekat. Perasaan dimana usaha-usaha mu terasa lebih berat dari biasanya, menandakan kesuksesan mu berlari lebih kencang dari biasanya. Langit cerah, rembulan tersenyum ke arah ku, aku bisa merasakannya, bulan yang sama dengan 26 tahun yang lalu, dimana Muhammad Amir Sholeh kecil memulai hari-harinya.



Mencintai tanah air mu bisa dengan banyak cara. Tak perlu kau gempur kandang lawan, tak perlu peluru berdesingan, tak perlu belati mu diasah, cukup belajar dan memiliki mimpi, raih mimpi itu. Dan ingat, bermimpilah setinggi langit, karena jika kau jatuh, kau akan jatuh di antara bintang-bintang. Mengabdi pada bangsa dan negara, beginilah cara ku mencintai tanah air ku, Indonesia. 


Komentar