Saat saya secara rutin mendengarkan lagu Indonesia Raya setiap minggunya di upacara hari Senin, itu sudah lama sekali. Saat beberapa kali mendengarkannya kala timnas berlaga di pentas internasional, itu juga sudah cukup lama terlebih setelah 'terkurungnya' dunia seperti saat ini. Indonesia Raya secara umum, mungkin hanya akan ramai diperdengarkan saat tahun mulai memasuki bulan kedelapan. Namun, bagi saya Indonesia Raya tidak pernah kehilangan maginya.
Secara naluriah, mungkin saya tidak pernah membenci Indonesia meski ucapan serupa sering keluar dari mulut dan pikiran saya. Mungkin saya tidak pernah benar-benar menyerah dengan keadaan bangsa hari ini. Pada akhirnya, saya kalah lagi dan terbirit-birit meninggalkan semua sirkus-sirkus badut atau manusia bertopeng yang kalang kabut. Kembali mendengarkan Banda Neira dan berharap suatu hari saya bisa mendengarnya langsung dari pinggiran laut Banda.
Indonesia Raya menjadi senjata termudah untuk saya. Apalagi kala mendengarkan 3 stanza penuh yang barangkali tidak begitu masyhur. Sungguh jujur dan apa adanya, semua harapan untuk negeri ini mengalir tanpa tedeng aling-aling. Indonesia Tanah Airku, Indonesia Tanah Yang Mulia, Indonesia Tanah Yang Suci. Seolah menghidupkan harapan-harapan baru (yang meski hanya didaur ulang) di dalam hati dan diri saya.
Indonesia Raya secara alami adalah bentuk perjuangan. Dan saat sekali lagi Indonesia Raya berkumandang sebagai penghormatan dari sebuah perjuangan, saya sama sekali tidak berpikir untuk membendung air mata ini. Biarkan saya begitu emosional saat ini, sebelum besok, lusa, kembali menghadapi sirkus badut dan orang bertopeng lagi. Khusus hari ini, jangan ada yang ingatkan saya bahwa UKT belum terbayar, sembako kembali naik, serta bansos yang dipotong lagi.
Komentar
Posting Komentar