Seperti jilbab yang tidak mungkin dipakai laki-laki, sepak bola pun terdengar tidak mungkin disukai perempuan. Tidak banyak perempuan yang tertarik dengan olahraga tendang-menendang bola ini. Namun, faktanya banyak perempuan yang suka olahraga bernama sepak bola ini. Bahkan di Indonesia sudah banyak klub-klub sepak bola wanita.
Termasuk saya, yang merupakan seorang perempuan yang menyukai sepak bola. Alasan saya suka sepak bola adalah alasan klasik yang biasanya dilontarkan perempuan-perempuan lain penyuka sepak bola, yaitu ikut-ikutan. Ya, saya suka sepak bola karena ikut-ikutan kakak saya yang seorang laki-laki. Nonton TV, sepak bola. Main games, sepak bola. Hingga akhirnya saya merasa ada ketertarikan pada sepak bola.
Pasnya saya suka sepak bola itu kelas 4 SD, saat itu sedang diadakan turnamen sepak bola 4 tahunan di kawasan Asia Tenggara, AFF Cup 2010. Kebetulan Indonesia menjadi tuan rumah di ajang itu. Media massa baik cetak maupun online -tapi, saat itu belum marak media online- sibuk memberitakan timnas Indonesia. Berkali-kali headline koran langganan bapak saya adalah timnas sepak bola Indonesia. Apalagi saat Indonesia berhasil menapaki babak final, sekoran merah semua. Saya mulai baca-baca, cari tahu siapa pemain-pemainnya. saat itu pengetahuan saya tentang sepak bola nol. Tidak tahu klub-klub yang ada di Indonesia, bahkan tidak tahu klub itu apa. Tahunya ya cuma timnas hehe. Tidak tahu apa itu offside, penalty, free kick, dan semacamnya.
Dari hasil pencarian itu akhirnya saya menemukan seorang pemain bernama Muhammad Nasuha yang kelak menjadi pemain sepak bola pertama yang saya idolakan. Dari Nasuha lah saya mengenal sebuah klub bernama Persija Jakarta. Persija adalah klub dimana Nasuha bermain saat itu. Di situ baru saya ketahui top skorer timnas Indonesia, Soetjipto Soentoro atau Gareng yang merupakan legenda Persija dan di bawahnya ada Bambang Pamungkas yang juga masih bermain bersama Persija sampai sekarang.
Selain itu alasan saya menyukai Persija adalah dari obrolan sederhana dua anak kelas 4 SD. Dua orang itu adalah saya dan teman perempuan saya. Sebagai dua anak perempuan obrolan kami bisa dibilang tidak biasa, kami membicarakan sepak bola. Awalnya kami membicarakan Irfan Bachdim, Christian Gonzales, Marcus Horison, sampai Bambang Pamungkas. Hingga akhirnya kami membicarakn klub-klub yang ada di Indonesia. Akhirnya saya memutuskan untuk menyukai Persija dan teman saya menyukai Arema Indonesia. Sesederhana itu.
Kesukaan saya terus bertambah setiap hari pada sepak bola terkhusus pada Persija, hingga saat ini pun saya masih menyukai Persija, mencintai bahkan. Saya tidak tahu bagaimana kabar teman saya itu dan kabar kesukaannya pada Arema, karena sejak SMP kami terpisah.
Namun, ada saat dimana saya berada di titik jenuh, saya bosan dengan kesukaan saya pada sepak bola yang itu-itu saja. Wajar, kata perempuan sepak bola memang membosankan. Hingga suatu saat saya membaca sebuah novel berjudul 'Garuda di Dadaku'. Saya melihat sisi lain dari sepak bola, melihat perjuangan, kerja keras, hal-hal yang selama ini tidak saya kira akan ada di sepak bola.
Saya merasa sepak bola bukan sekedar permainan, sepak bola bukan sekedar tendang-menendang bola. Sepak bola lebih dari itu. Ada kebanggaan di dalamnya, ada harga diri, ada sportivitas, ada rival, dan ada kawan.
Dan seiring berjalannya waktu saya melihat semua itu ada pada Persija. Persija dengan segala keterbatasannya, Persija dengan segala masalahnya. Persija dengan segala ceritanya, baik duka maupun suka. Persija, tim asal ibu kota, yang tidak hanya menjadi kebanggaan warga Jakarta, tapi juga beberapa orang di wilayah lainnya.
Mencintai Persija tidak butuh alasan meski sebenarnya banyak alasan untuk mencintainya. Jika ada 1 alasan untuk tidak lagi mencintai Persija, akan ada 1000 alasan yang tumbuh untuk mencintai Persija.
Persija adalah tim besar yang tahu bagaimana membanggakan suporternya, Persija membanggakan dengan caranya sendiri. Persija itu istimewa, berkembang dengan caranya sendiri, yang dengan tidak mudah bertahan di tengah kerasnya ibu kota.
Persija bagai permata yang setiap pemain sepak bola pasti ingin berseragam Persija. Bagi saya Persija itu istimewa, mengawalnya adalah suatu kebanggaan. Tim besar yang tidak satu orang pun meragukan aumannya. Bersama Persija dan sepak bola saya banyak belajar soal kehidupan, banyak nilai yang bisa saya terapkan.
Memang benar adanya jika; sepak bola bukan sedekar permainan dan Persija bukan sekedar tim.
Komentar
Posting Komentar