Gambar nemu di twitter, bener banget ga si?!?! |
Aku tidak
tahu mengapa potongan ingatan ini begitu terang di layar memoriku meski setahun
sudah berlalu. Semua terasa seperti baru dijalani sedetik lalu, seolah waktu
yang terbentang antara saat itu dan kini tidak pernah ada. Mungkin karena aku menjadikannya
penanda atau memang saat itu adalah saat yang patut diingat. Ah, sebenarnya
tidak juga. Saat itu hanyalah satu hari biasa yang tidak beda dengan hari-hari
sebelumnya. Ya, walau hari itu tidak pernah sama dengan hari-hari setelahnya.
Nah, mungkin karena itu. Hari itu adalah bagian dari hari-hari terakhirku
menjalani kehidupan ‘biasa’.
Cerita
bermula dari tugas yang dilayangkan dosen pada Rabu dan harus sudah dikumpulkan
satu hari setelahnya. Sebenarnya tugas gampang saja, hanya disuruh merangkum
materi. Tapi, ya, karena dasarnya aku suka menunda entah untuk melakukan apa
saja, pulang kelas di Rabu itu aku tidak langsung mengerjakannya. Aku terlebih
dahulu ingat punya janji dengan seorang teman, biasa, membicarakan kelangsungan
hidup (baca: rumpi). Dari parkiran kampus, aku langsung bergegas menuju indekos
seroang teman itu. Sebut saja Hasna.
Bukan sebuah kebetulan hari itu bertanggal 11 Maret. Tanggal yang diingat sebagai nama kampusku berikut hari lahirnya. Singkatnya, kampusku lagi punya hajatan, mbaranggawe. Terdengar selentingan wakil presiden akan hadir di perayaan dies natalies dan memberi sebuah keterangan pers, karenanya kami sebagai warga Indonesia tulen yang antusias melihat pejabat, siapapun itu, berencana menghadirinya setelah makan siang. Lumayan, pernah lihat wakil presiden.
Kami
memutuskan makan siang di sebuah warung dekat kampus, selain murah, juga—kalau
kata orang sih, tempatnya pewe. Entah karena terlalu kenyang atau kami
yang terlanjur hanyut dalam obrolan (sepertinya sih yang kedua), kami keburu
malas untuk beranjak dari sana. Terlebih hujan turun membuat kami semakin
merapatkan kaki dan benar-benar enggan untuk bergerak. Seperti selayaknya
obrolan teman lama, tiada dari kami yang bisa menghentikan laju bicara
sekalipun kami ingin. Barulah kami sadar, saat hujan sudah mulai reda dan
langit perlahan kembali cerah, kami hanya tinggal berdua di warung itu.
Sepertinya juga sudah terlalu lama, makan tidak seberapa bayarnya, masak mau
menduduki warung selama Belanda menduduki Nusantara? Kami memutuskan cabut.
“Beneran mau
lihat wapres?”
“Emang kalo
ga ke sana mau kemana?”
“Gatau.”
Kami sama-sama ragu wakil presiden masih di rektorat karena sudah lewat jauh dari jam seharusnya, tapi kami juga sama-sama tidak punya tujuan, yang pasti tidak mau pulang. Memang, tipikal orang gabut. Akhirnya kami benar-benar menyusul wakil presiden ke rektorat dan eng ing eng notttt. Zonk. Rektorat sepi, hanya ada karangan bunga yang berjejer dan beberapa anggota keamanan yang sedang santap siang. Berhubung kampus Sebelas Maret itu luas, kami memutuskan untuk memutarinya, tentu sambil melanjutkan obrolan yang belum habis juga.
Sepi bing bing tinggal karangan bunga doang |
Hari sudah
mulai sore dan kami akhirnya kembali ke indekos Hasna. Di kamar indekos itu
kami ketambahan personil. Seorang teman lagi, sebut saja Dhuha bergabung
bersama kami setelah secara kebetulan berpapasan di tengah jalan. Lagi, tipikal
orang gabut, ikut kemana aja. Hujan kembali turun dan kami tidak juga
kehabisan bahan obrolan. Ditambah tiga bungkus mie instan yang dijadikan satu di
mangkuk cukup besar, hmm ciamik.
Obrolan
berhenti saat aku akhirnya teringat dengan tugas yang diberikan dosen pagi
tadi. Meninggalkan satu dua kata, aku segera bergegas pulang. Aku lupa,
aktivitas mengisi kegabutan siang tadi berpotensi menghadirkan kantuk lebih
cepat. Singkat cerita, dengan hanya baru menyelesaikan separuh tugas, aku
memutuskan berangkat tidur.
curhat yang lebay setahun lalu |
Seperti yang
sudah diperkirakan, besoknya aku kalang kabut mengejar tenggat. Celaka
bertambah saat hari itu aku harus hadir di kelas pagi. Kalau tidak salah ingat,
tugas itu harus terkumpul pukul 09.00 pagi dan kelasku dimulai pukul 07.30,
sungguh memacu adrenalin. Alhasil, aku curi-curi mengerjakannya di kelas.
Catatan serius, ini bukan untuk ditiru, ya. Canda, serius. Eh beneran kok.
‘Mati satu,
tumbuh seribu,’ bunyi pepatah itu menjelma menjadi kenyataan dalam bentuk suatu
makhluk bernama tugas. Hampir bersamaan dengan terkumpulnya tugas yang kukebut
tadi, tugas berikutnya hadir tanpa tedeng aling-aling. Semestinya, hari itu
sepulang kelas yang selesai menjelang siang, aku menghadiri beberapa agenda di
kampus pusat, iya aku anak cabang. Namun, tugas membuat analisis apalah
itu menahanku sampai sore. Jam enam sore hari ini juga harus sudah terkumpul,
titah sang dosen.
Aku menaksir
bahwa waktuku tidak cukup untuk bisa sampai di agenda pertama, bergegas aku
mengirim pesan mohon izin. Menjelang maghrib aku baru benar-benar bisa keluar
dari kelas. Menuju parkiran dengan pikiran ‘nanti salat maghrib di NH, istirahat
bentar sambil makan, trus lanjut acara, jam 8 pulang.’ Bagus, rencana yang
sempurna untuk jiwa magerku yang meronta-ronta. Namun, rencana yang sempurna
itu, sampai hari aku menulis cerita ini, hanya tinggal rencana belaka karena
kejadian sebenarnya adalah motorku mogok dan membuatku, sekali lagi, tertahan
di kampus.
Aku nyaris
frustasi karena setelah dilihat, bensin terisi, starter tangan baik-baik saja,
begitu pun starter kaki. Udah, udah, gak bisa ini. Buru-buru aku
melayangkan pesan mohon izin untuk agenda kedua dan seterusnya. Aku hanya ingin
segera sampai di rumah. Beruntung kampus belum terlalu sepi, kawan-kawan yang
tersisa buru-buru kurepotkan perihal motor yang tiba-tiba tidak bisa menyala
ini. Kalau boleh teriak saat itu, kayaknya aku bakal teriak
sekencangkencangnya. Kalau boleh sumpah serapah, juga mungkin akan kulakukan
saat itu juga.
Sungguh hari
yang melelahkan bahkan ketika aku sampai di rumah. Tadi, motor itu akhirnya
bisa nyala setelah berbagai upaya, apresiasi untuk Revido yang ditangannya
motor itu akhirnya bisa mengantarku pulang. Juga untuk banyak teman yang
menemani kepanikanku. Terima kasih banyak banyak.
Tanpa
berpikir panjang, termasuk berpikir ada tidaknya tugas untuk besok, setelah
beberes dan mengisi energi, aku menuju kasur dan terlelap. Aku tidak pernah
tahu, hari itu menjadi salah satu dari dua hari terakhirku menginjakkan kaki di
kampus. Situasi berubah sangat cepat, surat edaran ‘kuliah di rumah 2 minggu’
segera tersiar dan masuk di obrolan grup-grup chat. Kini aku tahu, surat edaran
itu sepenuhnya salah, sudah tepat satu tahun aku tidak pergi ke kampus, berikut
bertemu teman-teman untuk menjalani hari yang ‘biasa’.
Senja di eNHa kala itu |
Entah sampai
kapan situasi ini berlangsung, ungkapan ‘hanya waktu yang akan menjawab’ benar-benar
memainkan perannya sekarang. Tapi, itu tidak penting, yang aku tahu, hari-hari
terakhirku di kampus tempo waktu, berjalan tidak cukup baik.
Aku ingin memperbarui memori ini. Segera.
then how's life now? feeling okay or just "okay"?
BalasHapusHello YourDumbAssBae😂 feel better to face another problem(s) hehe
Hapus