(10/12)
Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis tentang sepak bola
Indonesia. Kejadian akhir-akhir ini entah mengapa tidak ada yang bisa menarik
atensi saya atau saya yang terlalu larut pada realitas, entahlah. Mungkin keduanya.
Namun, malam ini saya memutuskan untuk menulis lagi.
Sebenarnya saya telah lama menyiapkan bakal tulisan ini. Saya sudah
berencana akan kembali menulis di malam final cabang olahraga sepak bola SEA
Games 2019. Saya lebih dari yakin Indonesia akan menapaki final. Tidak seperti
turnamen-turnamen sebelumnya, skuad Indonesia kali ini terbilang mewah. Dihuni anak-anak
terbaik bangsa, dengan talenta alami dibarengi kemampuan pembacaan taktik yang
oke punya. Beberapa diantaranya sudah pernah mencicipi atmosfer sepak bola
kelas atas. Tim pelatih pun terlihat serius menyiapkan tim. Jelas, tidak
tanggung-tanggung, target yang diusung federasi adalah emas!
Tadi, saat untuk ketiga kalinya Vietnam mengoyak jala Indonesia,
saya masih berusaha optimis. Berputar dalam kepala saya momen-momen comeback
yang pernah Indonesia lakukan. Bahkan Indonesia tidak mengendurkan serangan
sampai menit akhir, membuat saya, diam-diam, masih menyimpan harap. Namun, yang
saya rasakan selanjutnya adalah pilu. Peluit panjang telah dibunyikan, pemain
Vietnam saling memeluk sembari melonjak-lonjak seiring dengan lunglainya satu
per satu pemain Indonesia. Iya, Vietnam memenangkan emas itu, emas yang didamba
seluruh masyarakat Indonesia.
Kamera sempat menyorot Osvaldo Haay yang terlentang sambil menutup
matanya atau Asnawi yang berjongkok lesu sambil mengusap pipinya. Hanya Andi
Setyo Sang Kapten yang masih gagah menyalami pemain Vietnam yang kebetulan
lewat di depannya. Jelas ia bukan tidak sedih, gurat-gurat sedih sangat tampak
di wajahnya, hanya saja sebagai kapten ia memiliki beban untuk tetap terlihat
tegar dan tegak. Setidaknya saat teman-temannya tidak sanggup memberi selamat
ke tim lawan, ia sudah mewakilinya.
Sedangkan saya buru-buru
mematikan teve dan bangkit, takut-takut air mata lolos dari tempatnya. Berhadapan
dengan lembar kosong, saya memutuskan tidak jadi merealisasikan tulisan yang sudah
saya bangun narasinya dalam kepala sebab hasilnya jauh berbeda dari bayangan. Saya
jadi ingat, empat tahun lalu dan dua tahun lalu saya juga menulis tentang SEA
Games. Sialannya, narasinya masih sama dengan malam ini, narasi kekalahan. Padahal,
ya itu tadi, saya sudah menyiapkan narasi baru, narasi kemenangan.
Tadinya saya mau mengungkapkan betapa tidak bangganya saya pada
emas SEA Games yang sudah berhasil timnas raih. Dengan atau tidaknya emas itu
Indonesia dapatkan, samar-samar saya masih mencium bau anyir sepak bola
Indonesia. Saya malah takut kepala petinggi federasi semakin besar dan jatuhnya
menakutkan, menganggap juaranya timnas hasil kerjanya selama ini. Atau yang lebih saya takutkan adalah berubahnya
tim nasional sepak bola Indonesia menjadi grup vokal karena dibawa-bawa ke
panggung musik.
Ah, tapi siapa sih yang tidak bangga timnasnya meraih emas. Meski
sedikit, rasa bangga itu tetap terbersit dalam hati saya. Apalagi rasa bangga
itu ditambah torehan manis mengalahkan Thailand di pertandingan pertama. Hal yang
mungkin tidak masuk dalam sangkaan semua orang. Sekalipun Thailand menurunkan
lapis dua, nama Thailand tetap membuat hati siapa saja was-was.
Bagaimanapun, Indonesia telah memenangkan emas itu. Untuk sejenak,
ada baiknya kita melupakan busuk dan morat-maritnya persepakbolaan negeri. Kita
nikmati dan syukuri torehan manis ini, Indonesia juara!
Iya, seharusnya tulisan saya berakhir dengan kalimat ‘Indonesia
juara!’ Keadaannya, lagi-lagi kita harus dicekoki dengan sederet kalimat ‘kita
kurang beruntung’ atau ‘pemain telah bekerja keras’ dan sebagainya. Saya jadi
sangsi, Vietnam hanya beruntung saja menang dari Indonesia yang seringnya lemah
di final.
Seberapapun
kalian ingin mengeluarkan caci maki pada pemain atau umpatan pada wasit, jangan
dikeluarkan. Sebaiknya kita mengheningkan cipta melepas kepergian emas yang
sudah kita dapatkan dalam mimpi.
sekian
p.s. Tetap kuat, Evan Dimas! Doa kami bersamamu.
Komentar
Posting Komentar