(1/9)
Mungkin saya bodoh waktu
akhirnya memilih untuk tetap bertahan menonton pertandingan Persija sore
ini sampai akhir. Persija tidak bermain buruk sebenarnya, jika melihat statistik
Persija unggul jauh dari lawannya, Badak Lampung FC (BLFC). Calon klub mantan
ibu kota ini jelas bukan tanpa peluang, berkali-kali Persija menggempur
pertahanan BLFC, bahkan mengepungnya di sepertiga lapangan terakhir. Tadi,
Simic sampai menggaruk-garuk kepalanya, jelas ia frustasi peluangnya berulang
kali menemui mistar gawang. Penguasaan bola 70 persen milik Persija. Satu kata
untuk Persija sore ini: superior. Namun, inilah sepak bola, olahraga yang “banyak-banyakan
gol”. Papan skor di menit terakhir menunjukkan Persija kalah jumlah gol dari
lawannya, maka sudah, hasil akhirnya ya Persija kalah.
Saya teringat satu hal
waktu menonton pertandingan tadi, itu pula yang menjadi alasan saya untuk tidak
segera beranjak dari depan televisi meski setengahnya sudah muak melihat ketertinggalan
Persija. Pertandingan sore ini membawa ingatan saya menuju akhir 2016, waktu
itu Persija sedang mengarungi Torabika Super Championship (TSC), kompetisi
semi-profesional yang diadakan PSSI untuk mengisi kekosongan liga. Pertandingan
melawan Persegres Gresik United di awal Desember 2016 kala itu, berlangsung
sebelas-duabelas dengan pertandingan Persija versus BLFC tadi. Hasil akhir
waktu itu 1-0 untuk kemenangan Gresik, hasil yang sama plek dengan
pertandingan tadi. Persija menguasai 63 persen pertandingan, dengan 10 shot
on target yang tidak berbuah gol sama sekali. Striker Persija saat itu,
Pacho, sama frustasinya dengan Simic sore ini.
Memang saya muak, tapi di
satu sisi saya menikmatinya. Menikmati siklus yang sedang Persija alami saat
ini.
Persija memang unik. Setelah
menyusun cocokologi yang saya buat sendiri, saya baru menyadari Persija seperti
punya siklus tiga tahunan. Ibarat pepatah, katanya kan roda hidup selalu
berputar, nah roda hidup Persija yang Persijanya lagi di bawah itu berlangsung
tiga tahun sekali.
Cocokologi ini saya mulai
dari tahun 2013, liga Indonesia masih memakai nama Liga Super Indonesia (ISL). Persija
terengah-engah hanya untuk keluar dari zona merah. Kerap kali menjadi
bulan-bulanan lawannya. Dan yang paling fenomenal ialah, penunggakan gaji yang
berujung keluarnya Bambang Pamungkas, legenda hidup Persija, dari skuad. Persija
babak belur, finish di posisi 13 klasemen akhir. Posisi yang tidak
seharusnya dihuni tim sekelas Persija, tapi rasional untuk Persija saat itu.
Lalu 3 tahun setelahnya,
kondisi yang sama menghampiri Persija. Kali ini Persija berkompetisi di gelaran
TSC 2016. Sukar menang, kadang seri, dan sering kalah. Persija menuntaskan
kompetisi dengan raihan 35 poin, duduk di posisi 14 klasemen akhir. Ironinya,
seharusnya Persija terdegradasi musim itu, mengingat kontestan TSC hanya 16,
yang berarti Persija salah satu dari tiga tim yang seharusnya turun kasta. Namun,
karena TSC adalah kompetisi semi-profesional yang tidak mengenal
degradasi-promosi, beruntunglah Persija masih bertahan di liga utama.
Dan tahun ini, 3 tahun
setelah gelaran TSC, Persija kembali menemui kesulitan. Paruh musim baru saja
lewat, tapi Persija sudah mengalami delapan kali hasil seri dan baru meraih dua
kali meraih kemenangan. Mirisnya, musim lalu Persija baru saja menjadi yang
terbaik di liga, lalu saat ini malah berada di zona degradasi.
Entah kebetulan atau
tidak, tapi pasti setiap tiga tahun Persija mengalami musim buruknya, meski
belum tentu di tengah musim-musim itu bertemu musim baiknya.
Saya hanya berharap,
jangan diteruskan lah trend tiga tahunannya itu. Meski tidak juara tiap tahun,
setidaknya kami terhibur dengan permainan kelas khas tim penuh histori dan gelimangan gelar ini. Eh, tapi cocokologi
yang saya susun ini bau-baunya malah seperti klenik ya hehehe, padahal saya
sangat tidak percaya sama yang begituan.
Mungkin yang paling masuk
di akal saya saat ini adalah, Persija konsisten di dalam ke-inkonsistenan-nya. Persija
seperti belum punya pakem untuk permainannya. Terlihat bingung saat
ketinggalan, kedodoran waktu sudah unggul. Bandingkan permainan Persija musim
lalu dan sekarang, beda jauh. Meski tidak paham betul, saya bisa merasakan seperti
apa pemain yang enjoy dengan bolanya, menikmati pertandingan, melepas
ketegangan dengan cengiran-cengiran. Semua itu tidak terlihat di hampir seluruh
pertandingan yang sudah Persija lalui sejauh ini.
Entah ada apa di internal
Persija sana, tapi hei Persija, Jakmania sudah berbenah. Menjadi lebih baik
demi meringankan jalanmu menuju jalur kemenangan. Kami sudah dewasa, tidak
tertarik lagi untuk ribut-ribut di jalan, kami tertib masuk dan keluar stadion,
dan kami sopan kala bertandang ke kota lawan.
Persija, bermainlah
dengan hati, kami di sini tidak akan pergi, demi membersamaimu untuk kembali terbang
tinggi.
Kami sudah berjanji, kamu
tidak akan pernah sendiri.
Komentar
Posting Komentar