Malam ini, SUGBK bergeliat lagi. Setelah lama tidak ada agenda
timnas di stadion utama Indonesia itu dan setelah kekalahan di uji coba melawan
Yordania Selasa (11/6) lalu, hari ini timnas Indonesia kembali mengadakan uji
coba melawan Vanuatu. Secara sepak bola khususnya dan negara umumnya, semua
tahu, negara kepulauan di Samudera Pasifik ini, levelnya ada di bawah
Indonesia.
Sebenarnya, beban sesungguhnya bukan ada di pundak para pemain
Vanuatu, melainkan para punggawa Indonesia. Alberto Goncalves, dkk jelas berada
di posisi serba salah—jika mereka cukup waktu mendengar ocehan orang. Menang atau
kalah menjadi tidak penting dan sama tidak berartinya kalau ujung-ujungnya
tetap dikritik. Saya sudah punya bayangan komentar-komentar apa yang akan
dikeluarkan warga negara ini kalau timnas menang, paling banter ya, “Menang kok
sama negara kecil.” Hampir senada jika kalah, “Sudah lawan tim kecil, masih
kalah juga.”
Mungkin itu pula yang ada di pikiran coach Simon sehingga ia
berani menginstruksikan anak buahnya bermain lepas. Sejak awal—dari konferensi
persnya, ia memang tidak memikirkan menang-kalah. Cara bermain lah yang menjadi
fokusnya. Bongkar-pasang pemain ia lakukan, tercatat 7 pemain ia rotasi malam
ini. Namun, dengan kemenangan 6-0 ini bukan menjadi ukuran tujuh pemain tadi
bermain lebih baik dari tujuh pemain kemarin. Mungkin iya, tapi bisa jadi
tidak. Sekali lagi, coach Simon sedang bereksperimen, pun lawan yang
tadi dihadapi seakan menjadi antithesis lawan yang mereka hadapi empat hari
lalu.
Selama pertandingan tadi, tepatnya saat gol kedua terjadi dan
permainan Indonesia muskil diimbangi pemain Vanuatu, saya sempat berpikir, ‘Apa
gunanya beruji coba melawan tim yang levelnya lebih rendah? See? Indonesia
looks superior’ Namun, setelahnya saya dibuat sadar saat beberapa kali
pemain belakang Indonesia melakukan kesalahan dan sedikit terlambat bertransisi,
beruntung pemain Vanuatu tidak tanggap memanfaatkan kesalahan itu. Dari sana
terlihat, Indonesia tidak sesuperior itu bahkan saat melawan tim yang di atas
kertas di bawahnya.
Bertanding melawan tim seperti Vanuatu setidaknya membentuk mindset
pemain kita agar, pertama bermain lepas, kedua tidak meremehkan. Meski menang
besar, beberapa sektor masih butuh diperbaiki. Sekali lagi, Indonesia hanya
beruntung Vanuatu tidak—atau tidak bisa memanfaatkan kesalahan itu. Tadi saya
sempat berharap Indonesia kebobolan, paling tidak satu lah. Untuk menyadarkan. Ini
penyakit lama orang kita, suka berpuas diri. Namun, saya masih bisa bernapas
lega, setidaknya coach Simon orang luar, mentalnya beda dengan kita, ia bisa
mengembalikan fokus pemain. Terlihat tadi saat gol ketiga, saat pemain
Indonesia agak sedikit lama merayakan golnya, pria berkebangsaan Inggris itu
bersiul dari pinggir lapangan, meminta pemainnya kembali ke posnya
masing-masing. Saya bernapas lega untuk itu.
Sejauh ini, menurut saya, Indonesia berada di
jalurnya. Memang tidak selalu menang, tapi permainannya berkembang. Tidak sesuntuk
saat AFF tahun lalu, jelas, yaa setidaknya long passing nirakurasi tidak
mencolok di pertandingan tadi, meski masih ada satu-dua kali.
Dan catatan saya berikutnya sekaligus yang terakhir, permainan
Indonesia semacam tadi hanya bisa diwujudkan jika pemain menguasai bola dan
kuat bersama bolanya, hal yang sayangnya tidak terlihat saat melawan Yordania. Mereka
terlalu gugup, terlihat. Jadi, mungkin masalah kita bukan di finishing
touch, kita mencetak 6 gol tadi. Saya yakin, tim pelatih menyadari itu. Jika
tidak, saya harap mereka segera menyadarinya. Salam hormat.
Salam satu Indonesia. Ciao.
Komentar
Posting Komentar