Selain saat menonton timnas berlaga, saya nyaris tidak pernah
merasa sangat Indonesia sebelum pemilu hari ini.
Ya, suara saya untuk pertama kalinya tersumbang, akhirnya saya ikut
andil dalam menentukan nasib bangsa lima tahun kedepan. Jujur, saya
sangat-sangat menantikan hari pemilihan umum tiba. Bukan untuk cepat-cepat
ingin merasakan jari tercelup tinta ungu lalu membagikannya di media sosial,
bukan juga untuk cepat-cepat ingin tahu hasil akhir rematch panas ini. Di
atas semua itu saya lebih ingin suhu Indonesia, terutama suhu politik, kembali
sejuk.
Indonesia punya sejarah politik yang panjang. Dengan lika-likunya
sampailah kita pada era demokasi. Meski guru pendidikan kewarganegaraan saya
lebih meyakini Indonesia hampir masuk (lagi) ke zaman oligarki, saya masih
percaya kondisi demokrasi Indonesia terbilang aman-aman saja. Kebebasan
berpendapat masih dijamin undang-undang, kebebasan berdiskusi, membuat forum,
dan sejenisnya tidak berujung pada hilangnya suatu entitas esok harinya.
Berlandaskan kebebasan cara pandang dan berpikir, kamu tentu
boleh-boleh saja berbeda dengan saya. Sama halnya seperti saya dan guru PKn
saya itu. Toh kita tentu sudah tahu rumusnya: Bhineka Tunggal Ika. Namun, rasanya
basi sekali membicarakan hal satu itu. Saat ini, sebarisan kata itu tidak lebih
dari kata-kata hilang makna yang dibawa oleh orang-orang yang secara sadar atau
tidak menggiring audiensnya untuk ikut dalam kelompok mereka.
Terlepas dari penting atau tidaknya saya menunjukkan keberpihakan
saya dalam pemilu kali ini, saya memilih netral di muka publik, dalam artian di
media sosial atau ruang terbuka. Meski saya sadar betul even if saya
menunjukkan ke mana suara saya dilayangkan, yang bersebrangan akan tetap
bersebrangan, yang sama paling-paling hanya merasa lega di dalam hatinya alias
tidak berpengaruh.
Saat ini, sangat dibutuhkan orang yang memilih berada di tengah-tengah
guna memandang sesuatu secara objektif tanpa tendensi apapun. Kita tahu
akhir-akhir ini rakyat Indonesia sedang sensitif sekali dengan
sentiment-sentimen tertentu dan orang-orang yang mengambil jalan tengah ini
diperlukan untuk menyadarkan kembali mereka-mereka yang seakan lalai dengan
tujuan utamanya.
Ya, kita baru saja
mengagung-agungkan kebebasan yang kita rasakan saat ini. Namun, rupanya masih
banyak orang yang takut untuk menyampaikan pendapatnya. Takut berbeda, takut
disalahkan, sampai akhirnya takut dikucilkan. Dalam ranah pemilu kali ini
misalnya, semua orang seharusnya boleh mengkritik petahana tanpa takut dijustifikasi
berada di pihak oposisi dan semua orang seharusnya bisa mengkritik oposisi
tanpa dijatuhi pandangan sebagai bagian dari kubu penguasa.
Praktik-praktik inilah yang harus terus dikedepankan, objektifitas.
Kita harus meyakini tidak selamanya kubu yang berseberangan dengan kita salah
dan tidak selamanya kita benar. Menjadi kritis diperlukan untuk ikut memajukan
demokrasi Indonesia. Kurang lebih 20 tahun lalu reformasi sama-sama kita
perjuangkan, masak demokrasi kita mau begini-begini saja?
Yang perlu kita persiapkan sebagai seorang rakyat sipil biasa
adalah mental. Mental siap menang dan siap kalah tidak hanya dibutuhkan calon
eksekutif dan legislatif yang sedang berkontestasi, tapi juga kita. Siapapun pemimpinnya,
kita harus siap suatu saat mereka bisa saja melakukan blunder, suatu saat
keputusan mereka salah, kebijakan mereka tidak menyenangkan, dan ketetapan
mereka tidak menguntungkan. Jujur saja, pemimpin yang super adil, super baik,
super bijak, dan super-super lainnya adalah utopia. Kita harus yakin para
pemimpin itu juga manusia yang bisa salah dan khlilaf.
Akan tetapi, semoga saja kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial
untuk seluruh rayat Indonesia bukan suatu yang utopis, meski menurut Iwan Fals butuh
seorang manusia setengah dewa untuk mewujudkan itu.
Panjang umur demokrasi Indonesia! Panjang umur Bhineka Tunggal
Ika!
Komentar
Posting Komentar