Kita tentu sudah lama
mengenal ungkapan ‘Rumahku surgaku’. Ya seperti secara harfiahnya surga, tempat
manusia ingin selamanya tinggal di sana, pulang. Tempat yang indah dan nyaman,
yang membuat manusia bahagia. Setidaknya begitulah gambaran surga yang sudah
ditanamkan sejak kecil pada kita.
Sama seperti surga, rumah
diharapkan mampu menjadi tempat yang indah dan nyaman. Tempat yang pertama kali
terpikirkan saat tubuh butuh istirahat, pikiran butuh kesunyian, dan jiwa butuh
ditenangkan. Bahkan, sejauh apapun seorang petualang pergi, tempatnya pulang
tetaplah rumah.
Saya pikir, siapapun dia
pasti butuh rumah, termasuk sebuah klub sepak bola yang dalam hal ini berarti
butuh kandang.
Tanpa rumah, lalu apa
makna pulang?
Konsep sepak bola modern
mengusung ide untuk membagi liga domestik menjadi dua putaran. Satu kali
bermain kandang dan satu kali bermain tandang, singkatnya home-away. Sampai
hari ini jika ada tim yang bermain di kandangnya sendiri masih dianggap sebagai
keuntungan, entah dukungan moril dari pendukung, pemasukan dari tiket masuk,
atau yang lainnya.
Selama ini, klub-klub di
Indonesia memang belum ada yang memiliki stadion sendiri, dalam artian tidak
menyewa atau meminjam pihak lain. Tidak seperti Old Trafford milik Manchester
United atau Santiago Bernabeu milik Real Madrid. Kondisinya di Indonesia saat
ini seperti Wembley Stadium milik pemerintah Inggris yang sedang dipinjam oleh
Tottenham Hotspur karena White Hart Lane Stadium (kandang Tottenham) sedang
direnovasi. Spur pun harus sementara mutasi ke Wembley karena sedang renovasi, tidak
seperti di Indonesia yang memang sejak awal meminjam ke pemda.
Hal itu menjadi tidak
masalah jika meminjamnya ke pemerintah daerah si klub itu berasal. Akan menjadi
repot kalau sampai harus terusir dari daerahnya. Persis Solo, sebelum akhirnya
menjatuhkan pilihannya pada Stadion Maguwoharjo, Sleman, sempat berwacana akan
bermarkas di Pakansari, Bogor. Teriakan Pasoepati (pendukung Persis) langsung
terdengar. Baliho-baliho dibentangkan, jelas bertuliskan ‘Jangan jauhkan Persis
dari Kota Solo’. Persis memang musykil menggelar laga kandangnya pada musim
2019 di Kota Solo sebab Stadion Manahan sedang dipugar, pilihannya hanya satu:
harus pindah. Stadion di Kota Solo lainnya, Sriwedari, tidak cukup mampu untuk
menggelar laga kasta kedua liga Indonesia.
Saat pertama kali melihat
tulisan itu, pikiran saya langsung melayang pada klub ibu kota yang sebelas dua
belas nasibnya dengan Persis Solo. Kesamaannya karena Persija juga kerap
bermain di luar Jakarta, bedanya Persija sama sekali tidak punya kandang tetap.
Menyedihkannya, Persija seperti tamu di rumahnya sendiri.
Hal itu mulai disadari
oleh petinggi klub, juga oleh pemprov. Kabar baiknya, Persija akan memiliki
stadion, sedang dalam proses pembangunan. Pemerintah lewat gubernur dan dewan
direksi Persija lewat dirut sudah mengupayakan pembangunan stadion untuk
Persija. Meski nantinya Persija akan tetap menyewa, bagian terpentingnya
stadion itu ada di Jakarta.
Karena hakikatnya klub
sepak bola adalah representasi kota itu sendiri. Hampir semua atau bahkan semua
klub di Indonesia menyematkan nama daerahnya berasal sebagai nama klub. Lebih jauh,
sepak bola ada sebagai bagian dari budaya, perilaku, dan wajah suatu daerah.
Brazil yang keras
menawarkan jogo bonito pada sepak bolanya, sementara Spanyol yang artistik
kerap menampilkan tiki-taka cantik disetiap pergerakannya. Jakarta dan Solo
jelas berbeda. Jakarta yang digdaya, meski bisa, tentu tidak nyaman bermain
kandang di kota orang. Sama dengan Solo yang terkenal kedaerahan, belum tentu ‘krasan’
di kota besar.
Jadi, memang lebih baik
di sini, rumah kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar