Betapa tidak enaknya hidup bergantung pada orang lain. Mungkin itulah
yang kini sedang dirasakan punggawa garuda di piala AFF 2018. Bahkan pertandingan
terakhir mereka belum dimainkan, tapi mereka sudah dipastikan angkat koper dari
turnamen akbar Asia Tenggara ini. Hasil seri Thailand kontra Filipina sudah
menutup rapat kans garuda untuk melaju ke semifinal.
Saya ingat, dua tahun lalu, saat penyambutan pemain di Bandara
Soetta setelah dikalahkan Thailand di final AFF 2016, ketua PSSI, Edy Rahmayadi
menegaskan bahwa tahun-tahun setelah ini Indonesia bukan negara yang kalah. Spirit
yang begitu menggebu menular ke dalam sanubari saya. saya percaya, masa depan
sepak bola Indonesia cerah, yang pasti sudah selangkah meninggalkan masa kelam
itu.
Dan dua tahun kemudian, Indonesia kembali lagi ke ajang ini. Misinya
jelas, menuntaskan yang belum usai; juara. Yang aneh, tujuan kita jelas, tapi
jalur yang kita ambil tidak lazim. Dimulai dari drama perpanjangan kontrak pelatih
asal negeri matador itu, lalu terlambatnya penunjukkan pelatih utama, kemudian training
centre yang terlalu mepet, liga domestik yang masih berjalan beriringan
dengan turnamen AFF 2018, dan masih banyak lagi.
Masalah-masalah ini sudah telanjur kusut, susah untuk sekadar
menemukan pangkal ujungnya.
Pelatih Bima memang anak baru di dunia kepelatihan. Banyak orang
memandang sebelah mata legenda timnas Indonesia ini. Memang, orang-orang banyak
menghargai dirinya sebagai seorang pemain, tapi beberapa tidak untuk menjadi
pelatih. Pelatih Bima tidak punya pengalaman menjadi pelatih kepala di manapun,
bahkan di level klub, meski sudah sejak lama ia menjadi asisten pelatih di
Persiba Balikpapan dan hampir dua tahun membersamai Senor asal Spanyol itu.
Akan tetapi, menjadi asisten pelatih tidak sama dengan menjadi
pelatih kepala. Pelatih kepala dituntut memiliki insting yang baik, pembacaan
permainan lawan yang cermat, dan hal-hal lain yang kebanyakan dipelajari lewat
pengalaman. Memang, jika dilihat dari sisi lain, inilah kesempatan emas untuk
pelatih Bima, juga Pelatih Kurniawan dan Pelatih Kurnia untuk menambah
pengalaman menggawangi kesebelasan, apalagi timnas senior.
Indonesia, utamanya, jarang menurunkan formasi tiga pelatih lokal
sekaligus di ajang-ajang resmi. Akan tetapi, hal ini tentu bisa menjadi poin
plus jika dimaksimalkan. Pemain dan pelatih memiliki kebangsaan yang sama,
tentu semangat yang mereka upayakan sejalan; membanggakan ibu pertiwi dan
kemistri pun akan terbangun dengan mudah.
Namun, di ajang yang tidak
sebercanda ini, penunjukkan tiga pelatih lokal minim pengalaman mungkin harus
dikoreksi. Sama, bahkan pelatih sekelas Didier Deschamps (pelatih timnas
Prancis) atau Gareth Southgate (pelatih timnas Inggris) pernah menduduki kursi asisten
pelatih atau setidaknya melatih di klub. Sedangkan Pelatih Bima tidak punya
pengalaman itu kendati ia terus bersama Luis Milla nyaris dua tahun terakhir.
Dan ya, Pelatih Bima jelas tidak mau mengambil resiko di waktu
pemusatan latihan yang sesingkat itu, pemain yang dipanggil merupakan pemain
langganan Luis Milla dan pemain yang dipanggil pun tidak dalam kondisi 100%, liga
Indonesia memasuki fase sibuknya, laga-laga akhir penentuan siapa yang juara
dan siapa yang harus turun kasta. Taktik yang digunakan pun sama dengan Luis
Milla, pun pelatih Bima tidak menampik masih adanya komunikasi dirinya dengan
Luis Milla. Benar-benar mencari zona aman.
Singkatnya, sepak bola kita sedang sakit (lagi). Ah, tidak,
sejatinya sepak bola kita memang tidak pernah sembuh, penyakitnya gampang
kambuh.
Mungkin jalannya memang hanya satu, istirahat. Kepada pemain,
pelatih, tidak terkecuali pada jajaran pejabat teras PSSI. Untuk yang terakhir,
sepertinya tidak hanya perlu istirahat, bed rest mungkin lebih
diperlukan.
Ah, sudahilah bermanis-manis. Bermain kode-kode yang tidak akan
pernah dimengerti otak-otak harta dan tahta itu. Tidak perlu juga berbasa-basi,
mereka sepertinya tidak punya cukup waktu meladeni itu.
Langsung saja,
Wahai kalian yang (seharusnya) bertanggung jawab atas semua ini,
kami lihat kinerjamu tidak dari hati, malah asik berhura-hura dengan senang
hati, maka lepaskanlah jabatan itu dengan luas hati, kami di sini sudah muak
makan hati. Atau kami memang disuruh bersabar lebih lama lagi?
sekian.
Komentar
Posting Komentar