Saya
masih terlampau kecil waktu itu, kala Indonesia melakoni final keempatnya
sepanjang keikutsertaannya dalam AFF Cup. 26 Desember 2010, umur saya baru
menginjak 9 tahun lewat 17 hari. Masih sangat lugu dan polos saat mendukung
negaranya. Saya baru kenal sepak bola tahun itu, di mana timnas sepak bola
Indonesia sedang digandrungi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Seperti
kebanyakan hati rakyat Indonesia, malam itu hati kami sedang kelabu. Malam itu
di Malaysia timnas sepak bola kami digilas 3 gol tanpa ampun oleh Harimau
Malaya. Saya pribadi sangat sedih kala itu, meski tahu masih ada leg 2,
dihabisi di kandang lawan sudah cukup menumbangkan semangat saya.
Ya,
yang saya tahu saat itu hanya ‘Saya sedih Indonesia kalah’. Dalam otak dan
pikiran saya berkali-kali bergaung kalimat ‘Dalam permainan menang kalah adalah
hal yang biasa’.
Saat
itu saya terlampau larut dalam kesedihan tanpa tahu ada sebuah gejolak besar
yang menimpa persepakbolaan Indonesia.
Tepat
di malam itu, 26 Desember 2010. Sebuah surel muncul ke permukaan. Tertulis di
sana pengirim bernama Eli Colen, seorang yang mengaku sebagai pegawai pajak. Surel
tersebut ditujukan kepada presiden terpilih saat itu, Pak SBY. Eli Colen ini
meminta kepada presiden supaya mengusut tuntas dugaan suap yang terjadi pada
final leg pertama AFF Cup 2010 tersebut.
Dia
mencium indikasi Indonesia ‘sengaja’ mengalah, atau tepatnya ketua PSSI saat
itu, Nurdin Halid, yang menginstruksikan skuad Indonesia untuk kalah guna
melancarkan dirinya maju menjadi ketua PSSI periode berikutnya. Mungkin terdengar
aneh, menyuruh kalah malah melancarkan diri duduk kembali di kursi ketua umum.
Dari
sinilah, 8 tahun yang lalu, saya yang masih terlampau polos dan lugu untuk tahu
apa itu suap, judi, atau korupsi menjadi tahu di atas segala hal, jika uang
sudah bermain, lancarlah semua hasrat dan keinginan. Yang saya tahu lagi, lepas
dari 2010, persepakbolaan Indonesia benar-benar ditimpa bencana. Kasus dualisme,
terpecahnya kompetisi, sepak bola gajah, hingga intervensi pemerintah yang
berujung mati surinya persepakbolaan Indonesia pada 2015 dengan diturunkannya
sanksi dari FIFA untuk PSSI selaku induk persepakbolaan Indonesia yang dianggap
tidak becus mengurus sepak bola di Indonesia.
Satu
tahun sebelum diturunkannya sanksi FIFA, Indonesia sedang dikejutkan oleh pertandingan
yang ‘tidak layak’ tonton antara PSIS Semarang melawan PSS Sleman. Mereka memeragakan
sepak bola gajah guna menghindarkan diri menjadi juara grup. Sekali lagi
mungkin ini hal yang aneh dan muskil diterima akal sehat. Namun, jika ditilik
kembali, ini merupakan cerita lama di Indonesia.
Timnas
Indonesia pernah memeragakannya kala bermain di ajang Sea Games 1998 saat melawan
Thailand. Waktu itu kualitas Thailand jauh, sangat jauh di bawah Indoensia. Indonesia
bisa saja, dengan gampang membobol gawang negeri Gajah Putih itu. Namun,
Indonesia takut pada Vietnam, katanya. Adalah Mursyid Effendi yang pertama mencetusnya.
Memang saat itu Vietnam sedang ganas-ganasnya merajai sepak bola Asia Tenggara.
Antara Indonesia atau Thailand sudah ditunggu Vietnam sebagai lawan di
semi-final. Ternyata tidak ada dari kedua negara tersebut yang berani bermain
melawan Vietnam sehingga terciptalah pertandingan yang ‘aneh’ tersebut.
Dari
sana, muncullah sebuah kutukan ‘sepak bola gajah’. Mursyid Effendi, si ‘pelaku’
pertandingan tidak wajar tersebut berkata selepas ajang tersebut, ‘Indonesia
tidak akan pernah menjadi juara sampai dalang dari sepak bola gajah ditemukan’.
Meninjau kata-kata Mursyid yang memosisikan diri bukan sebagai pelaku
memunculkan perspektif baru bahwa pemain hanyalah korban. Tentu ada banyak
permainan uang di baliknya. Hal ini sama tapi tidak serupa dengan yang terjadi
di AFF Cup 2010. Meski akhirnya khalayak tidak tahu apakah dugaan suap itu
hanya bualan atau benar adanya, perlu digarisbawahi bahwa persepakbolaan
Indonesia gampang dikelabuhi.
Akan
tetapi, saya adalah orang yang skeptis dengan kutukan atau semacamnya. Yang saya
percaya dari kejadian ini dan kejadian-kejadian berikutnya adalah, ini merupakan
sebuah peringatan besar, bentuk teguran keras dari Tuhan.
Saat
itu, Indonesia bisa dengan mudah menumbangkan Thailand, jika mau, tapi malah
menginginkan kekalahan. Hingga saat ini, saat persepakbolaan Thailand
berkembang pesat, Indonesia sangat sulit untuk bisa menang melawan Thailand. Mungkin
orang bilang karma, tapi yang saya percaya, ya, ini adalah perwujudan dari
firman Tuhan: ‘Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan pula’,
begitupun sebaliknya.
Dan
apa yang dikatakan Mursyid Effendi sama sekali benar adanya. Sejak Mursyid
bertutur demikian, Indonesia tidak pernah sekalipun menjuarai berbagai ajang
yang diikuti. Menurut hemat saya, saat itu orang-orang yang berkuasa. Orang-orang
yang duduk di organisasi lebih memilih uang ketimbang prestasi. Praktik politisasi
pun tidak pernah lepas menggerayangi persepakbolaan negeri.
Namun,
seberapapun geramnya rakyat kepada federasi, rakyat berada diposisi yang kata
peribahasa ‘digenggam takut mati, dilepas takut terbang’. Serba salah, serba
merugikan.
Pada
akhirnya, yang ingin saya sampaikan adalah sepak bola adalah seni. Wadah para
seniman lapangan untuk berkreasi. Para penguasa, tolong jangan campuri sepak
bola dengan hal-hal sampah. Tidak ada kebanggaan di sana.
Sepak
bola akan indah jika kita biarkan ia berjalan sebagaimana mestinya.
Untuk
timnas u-19 yang malam ini bermain, terimakasih atas perjuangannya. Terimakasih
untuk tidak henti-hentinya berjuang, untuk tidak mengenal kata lelah dan kalah.
Terimakasih sudah menyadarkan saya, permainan indah ini tidak selayaknya
dikotori dengan hal-hal sampah milik para penguasa.
Dan
terimakasih sudah menginspirasi saya untuk menulis curahan hati malam-malam. Hehe.
Komentar
Posting Komentar