Yang pertama kali aku ingin katakan padamu bahwasannya
perjalanan kali ini sama dengan perjalanan-perjalanan lainnya. Hanya satu yang
membedakan, tujuannya. Jika aku tidak keliru mengingat, perjalanan ini adalah
perjalanan keduaku ke Jakarta. Terang saja, meski semuanya sama, Jakarta selalu
istimewa. Saat menatap langitnya hal yang pertama kali kuingat adalah perkataan
seseorang: Jakarta itu keras. Aku tersenyum singkat mengingatnya, dengan sedikit menambahkan aku
membatin; Jakarta itu keras, mari tunjukkan seberapa keras Jakarta menempaku.
Semesta menjawab tantanganku rupanya, Jakarta tidak
pernah kehabisan cerita. Cerita yang sangat mungkin membuatnya diingat. Jakarta
selalu Jakarta, selalu ingin dirindukan. Aku bersama rombongan berjumlah
sebelas orang, kami baru saja menghadiri suatu acara di Depok. Aturan pertama,
selepas acara, kami harus segera ke stasiun Pasar Senen untuk bisa kembali ke
Purwokerto, kami harus sampai di sana maksimal pukul 19.00 WIB karena tepat
pukul segitu Senja Utama akan berangkat. Aturan kedua, kami harus naik KRL dari
Depok menuju Jakarta karena bisa dipastikan jalanan Depok-Jakarta akan macet
mengingat saat itu Minggu.
Masalah sudah mengintai kami sebenarnya saat kami
terjebak macet menuju stasiun Depok Baru. Kami terpisah menjadi dua rombongan,
saya dan 7 orang lainnya sampai di Depok Baru, sedangkan 3 orang lainnya sudah
sampai stasiun Pondok Cina(PoCi). Kami lalu bertemu di PoCi dan bersama-sama naik KRL.
Kami berencana turun di Gang Sentiong lalu menyebrang jalur dan naik KRL
jurusan sebaliknya. Kami baru menyadari masalah yang sangat besar mengintai saat sudah
lepas stasiun Kemayoran. Jam menunjukkan pukul 18.04 WIB. Masih sekitar satu
jam lagi keberangkatan Senja Utama.
Di Kemayoran kami bertemu seorang bapak, awalnya
beliau bertanya akan kemana kami pergi, setelah beliau tahu kami akan ke Pasar
Senen dan ditunggu kereta pukul 19.00 WIB, dengan cepat beliau langsung
memperingatkan bahwa kereta yang kami tumpangi ini tidak berhenti di Pasar
Senen. Kami harus berganti kereta di Sentiong dan menunggu kereta jurusan
selatan untuk sampai di Pasar Senen, masalahnya adalah kereta jurusan selatan
tidak datang tiap lima menit sekali, kami harus menunggu minimal 30 menit. Bisa
diperkirakan jika kami tetap menunggu kereta jurusan Depok atau Bogor, sampai
di Pasar Senen kami sudah tertinggal kereta.
Akhirnya kami tetap turun di Sentiong, dengan bantuan
seorang bapak yang juga segerbong dengan kami tadi, kami diantar ke pangkalan angkot.
Dari turun kereta tidak pernah sekalipun kami berjalan, kami terus berlari. Parahnya
kami harus lari dengan bawaan yang tidak sedikit; tas ransel berisi pakaian,
tas selempang, dan beberapa bawaan lagi. Gugup, beberapa kali bawaan kami
terjatuh di tengah pelarian. Jakarta sudah gelap, waktu terasa sekedipan mata,
kami duduk resah di atas angkot, sudah jam 18.40 WIB. Memang bukan Jakarta
namanya jika tidak macet, lagi-lagi kami terjebak diantara lusinan kendaraan.
Belum sampai pintu stasiun Pasar Senen memang, tapi
kami sudah memutuskan untuk turun. Mengejar dengan kaki saja sepertinya bukan
ide yang buruk. Namun, meski begitu kami harus tetap berjibaku dengan macet. Palang
pintu kereta depan stasiun Pasar Senen sedang tertutup, mau tidak mau kami harus
menunggu. Kami sudah menerobos palang pintu saat gerbong terakhir kereta melintas, kami berlari di tengah-tengah rel.Saat kami
sampai di peron jam menunjukkan pukul 18.59 WIB, 60 detik ke depan bisa dipastikan Senja Utama sudah tidak di tempatnya. masalah berikutnya adalah kami belum mencetak tiket kereta. Salah satu dari kami langsung berlari
menuju pencetakan tiket. Keringat-keringat mengucur deras dari dahi-dahi kami,
degupan jantung kami bahkan bisa kami dengar sendiri.
Aku tidak membayangkan jika kami benar-benar tertinggal kereta. Karenanya, bahkan sudah di peron pun kami terus berlari. Tepat kami duduk di kursi kereta, perlahan kotak besi itu berjalan. Desingan rodanya beradu dengan degupan jantung kami.
Aku tidak membayangkan jika kami benar-benar tertinggal kereta. Karenanya, bahkan sudah di peron pun kami terus berlari. Tepat kami duduk di kursi kereta, perlahan kotak besi itu berjalan. Desingan rodanya beradu dengan degupan jantung kami.
Memang benar, aku tidak berbohong dan tiada mengada;
Jakarta selalu penuh cerita. Dan aku juga tidak bosan memberitahumu bahwasannya
bukan Jakarta yang keras, tapi mungkin kita yang lemah. Terimakasih Jakarta,
lagi, esok lusa cerita tentangmu akan selalu tersiar dariku, paling tidak untuk
diriku sendiri.
Mantaaap Kakak
BalasHapus