Note: Tolong dibaca sampai habis yaaa.
Sebentar
lagi tahun ajaran akan memasuki babak akhir. Begitupun saya yang sebentar lagi
akan memasuki semester empat di Sekolah Menengah Atas (SMA). Terhitung kurang
lebih sudah 1 tahun 4 bulan saya berada di SMA, menduduki kelas berpredikat
unggulan sejak tahun pertama. Saya kira sudah cukup matang jika saya berbagi
cerita tentang saya dan kelas ini.
Saya adalah
bagian dari angkatan kedua kelas Al Quran di SMA saya, SMA IT Al Irsyad
Purwokerto (SMAIT). Kelas yang katanya unggulan, percontohan, atau apalah
kalian menyebutnya. Saya boleh sedikit bangga karena menjadi salah satunya. Masuk
kelas ini tidak sembarangan, harus melewati serangkaian seleksi yang ketat. Tidak
hanya prestasi akademik dan tahfidzul quran, tapi juga kesehatan psikis. Saya sempat
mengernyitkan dahi kala mendengar ada tes psikis, tapi sekarang kurang lebih
saya paham kenapa sekolah mengadakan tes itu. Sekali lagi, saya boleh sedikit
berbangga karena bisa melewati itu semua.
Sebagai
angkatan kedua, yang berarti juga generasi awal kelas percontohan Al Quran di SMAIT,
banyak yang masih menerka-nerka apa itu kelas Al Quran. Di tahun pertama saya, tidak
terhitung berapa banyak—terlebih karena saya tidak menghitung—orang yang
bertanya tentang kelas Al Quran. “Kelas Al Quran enak gak sih?” “Jadi anak
Quran susah ga?” pertanyaan yang mirip nyaris sama itu banyak berseliweran di
telinga saya. Jawaban saya seadanya, “Segala sesuatu pasti ada enak dan engganya,
jalani aja.” Mungkin karena jengah dengan jawaban saya yang familiar,
pertanyaan-pertanyaan itu perlahan menghilang.
Setelah berbulan-bulan
tidak mendengar pertanyaan itu, kemarin sore (24/11) pertanyaan itu mampir lagi
di telinga saya. Refleks saya sama seperti dulu-dulu, “Segala sesuatu pasti ada
enak dan engganya.” Namun, gara-gara pertanyaan itu saya jadi berpikir, kalau
itu kata mulut saya, lalu apa kata hati saya? Apa selama ini saya senang ada
diantara para penghafal Al Quran? Bahagia dituntut untuk bisa lebih dari biasa?
Jawabannya…
Ya, antara senang
dan tidak.
Menurut hemat
saya, segala sesuatu itu pasti ada enak dan tidaknya, ada suka ada dukanya, dan
ada senang ada sedihnya. Bahkan pikiran saya sering bermonolog cenderung
berdialog dengan pikiran saya yang lain, saling bantah dan saling menyalahkan.
Sama seperti
saat ini, sudah banyak hal yang saya lewati bersama kelas ini. Termasuk bagian
pahit dan manisnya. Saya menyadari pentingnya tes psikis diawal masuk dulu,
kami—penghuni kelas Al Quran—dituntut untuk out of the box. Berkompetisi
lebih ketat dari biasanya. Tuntutan yang tinggi dan kewajiban yang tiada
habisnya menjawab alasan mengapa kami harus benar-benar waras sebelum masuk
kelas ini.
Menjalani hidup
sebagai anak quran membuat saya berpikir, apakah selama ini tindak tanduk saya
sudah mencerminkan Al Quran? Atau minimal menggambarkan bahwa Al Quran ada di
hati saya? sebagai anak kelas Al Quran ekspektasi tinggi membanjiri kami, seratus
persen saya menyadari itu. Kami tidak diberikan celah untuk salah. Kan katanya
percontohan, seharusnya sebagai contoh, dong. Memang hakikatnya
seperti itu, nyatanya? Saya rasa kami belum menggambarkan akhlaqul karimah dalam
artian sebenar-benarnya. Akhlak kami masih jauh dari baik, pikiran dan perilaku
kami tidak seputih yang dibayangkan.
Sebagai
contoh, perlu diketahui bagi seorang yang sedang menghafalkan Al Quran adalah
suatu pantangan jika mendengarkan musik. Namun, saya pribadi masih sering
mendengarkan musik, meski musik-musik yang saya dengarkan bernafas islami atau
nasyid, tapi itulah ujian. Bukan suatu hal yang mengherankan jika sekali
mendengar nasyid langsung hafal dan terus berdengung di kepala, sementara
berkali-kali mendengar Abu Bakr Ash Shatiri tilawah Al Quran sulit untuk masuk
kepala. Saya jadi menyadari ungkapan ‘setiap orang memiliki ujiannya
masing-masing’ adalah benar adanya.
Sukanya,
sebagai seseorang yang memiliki tekanan lebih, kami terhitung ‘sering
jalan-jalan’. Mungkin bisa dibilang hadiah, meski tidak jarang untuk
mencapainya kami harus jumpalitan mengejar setoran.
Namun—tanpa niat
untuk membela diri—inilah kami, sekumpulan remaja tanggung yang juga sedang
giat-giatnya mencari jati diri. Pemuda labil seperti kalian semua.
Kawan, kami
berpesan, sekalipun jangan pernah anggap kami baik, kami sedang berproses,
sama, sekali lagi, seperti kalian semua.
Pada
akhirnya, siapapun kita, bagaimanapun akhlak kita, jangan pernah ragu untuk
dekat dengan Allah dan Al Quran. Saya boleh senang karena mendapat kesempatan
bergabung dengan orang-orang hebat, dikondisikan untuk siap bertarung melawan
mereka dan diri sendiri. Namun, berbahagialah juga kawan, Allah menyayangi kita
semua, dekati Allah. Jika kalian berpikir kalian tidak lebih baik dari kami,
percayalah, suatu saat, mungkin, kalian akan lebih baik dari kami. Toh kita
tidak tahu siapa sebenarnya yang lebih mulia di sisi Allah, mungkin saja saat
ini sebenarnya kami ada di bawah kalian. Berbahagialah selama kita masih
memiliki iman. Mari berjuang bersama menuju surga Allah. Jangan pedulikan
posisi kita, tapi sadarilah kita masih sama-sama manusia yang punya kesempatan
untuk menjadi lebih baik.
Terakhir,
berbahagialah para penghafal Al Quran. Ada janji Allah jika kita menjaganya,
dan ingatlah Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.
Komentar
Posting Komentar