kadang, kita itu hanya ingin enaknya saja. Namun, tidak ingin merasakan
susahnya. Itu sangat manusiawi, semua orang pasti begitu. Kalau senang tertawa kalau
sedih menangis, tapi diantara kesenangan dan kesedihan itu kita perlu memahami.
Memahami bahwa jika senang, kesenangan ini tidak akan berlangsung lama. Begitu
pun dengan kesedihan. Kita semua tahu roda hidup selalu berputar, berjalan di
atas jalan yang tidak selalu mulus. Jika ada kesedihan pasti juga ada kesenangan.
Kadang kalau senang kita lupa diri, kalau sedih kita membenamkan diri. Keduanya
tidaklah benar, yang benar, jika senang kita bersyukur, jika sedih kita belajar
dari kesalahan. Kesenangan selalu membuntuti kesuksesan, kesedihan selalu
membuntuti kegagalan. Setidaknya kita perlu kegagalan untuk memahami nikmatnya
kesuksesan, kita perlu kesedihan untuk memahami nikmatnya kesenangan. Tidaklah benar
kita selalu sedih, begitu juga senang. Tetaplah semangat, jangan pernah
menyerah walau kesuksesan tidak membuntuti kalian. Suatu saat yakinlah
kesuksesan akan menghampirimu. Tidaklah mengapa kesuksesan tidak ada padamu
sekarang, tapi kesuksesan akan datang pada saatnya. Tetap tersenyum apapun
keadaannya.
-Ifah, 2015. (dengan revisi)
Sore itu, saya mematikan komputer
yang habis saya pantengin 90 menit dengan lesu. Setelahnya, saya langsung
merogoh notebook yang sudah lama
menemani hari-hari saya. Saya terduduk diam, bingung harus memulai dari mana. Harus
menggoreskan apa. Namun, saya harus menuangkan kegelisahan saya, harus, tekad
saya waktu itu.
Sore itu, sore semifinal cabang olahraga sepak bola SEA
Games 2015. Sore itu juga, Indonesia harus memupus asanya melaju ke final setelah dikandaskan oleh Vietnam
(kalau tidak salah). Di SEA Games ke-29 Singapura itu memang cabang olahraga
sepak bola Indonesia datang dengan banyak kepincangan. Tahun 2015 adalah tahun
kelam bagi sejarah sepak bola Indonesia, di tahun itu Indonesia mendapat sanksi
dari FIFA sebagai induk persepakbolaan dunia atas intervensi yang dilakukan
pemerintah Indonesia kepada PSSI. Ajang SEA Games itu bisa disebut ajang mengucap
selamat tinggal dari Indonesia kepada persepakbolaan dunia.
Di tahun itu sebenarnya saya
pribadi banyak berharap, meski dengan keadaan demikian, persiapan timnas
terbilang matang, menurut saya ajang pamungkas seharusnya menjadi ajang hidup
dan mati, ajang yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karena, saat itu
kondisinya kita –Indonesia- tidak tahu kapan lagi akan bermain di ajang
internasional. Oleh karena itu, di tulisan saya waktu itu, di kalimat kedua
sebelum terakhir saya menulis ‘Tidaklah mengapa
kesuksesan tidak ada padamu sekarang, tapi kesuksesan akan datang pada saatnya.’
Saya tidak berani mengatakan kesuksesan akan datang besok, lusa, atau dua tahun
lagi, sebab saya tidak tahu kapan Indonesia akan bermain lagi.
Ya, kini kejadian dan tulisan itu
sudah dua tahun terlewati. Semua kesedihan, kecamuk dalam hati, sudah tersimpan
dengan rapi dalam hati dengan judul kenangan. Saat itu saya berharap, dua tahun
lagi cabor sepak bola Indonesia harus bermain di SEA Games Kuala Lumpur. Semua terasa
nyata saat bulan April 2016, FIFA mencabut sanksinya atas Indonesia. Sejauh ini,
Indonesia sudah menjalani dua turnamen besar, AFF Cup 2016 dan SEA Games Kuala
Lumpur yang saat ini sedang berlangsung.
Namun lagi-lagi, Indonesia
harus tersingkir lebih dulu setelah gagal di semifinal, kini di tangan Malaysia. Rasanya, perasaan-perasaan yang
dua tahun lalu menggelayuti saya hadir kembali. Sama dengan dua tahun lalu,
tahun ini juga merupakan tahun berat bagi Indonesia. Sudah sejak awal Indonesia
menghuni grup yang berisi negara-negara besar di Asia Tenggara. Meski begitu,
targetnya jelas, emas. Indonesia berhasil lolos grup dengan cukup meyakinkan,
kepercayaan akan kembalinya emas SEA Games cabor sepak bola semakin nyata. Nyata
sampai di laga semifinal Malaysia
menghentikan semuanya.
Runtuh, rusak, bobrok, semua
pertahanan yang Indonesia buat hancur seketika saat pemain Malaysia menggoyang jaring gawang Indonesia. Tangis sesenggukan mengalir
dari sebagian besar pahlawan Indonesia di lapangan hijau, tangis yang mewakili tangis
seluruh rakyat Indonesia. Rasanya, tulisan saya dua tahun yang lalu ada
benarnya. Meski sekarang persepakbolaan Indonesia sudah bernafas seperti sedia
kala, Indonesia masih harus menunggu kesuksesannya datang. Kesuksesaan yang akan datang
pada saatnya.
Terimakasih Garuda Muda. Kalian
telah menunjukkan bagaimana seorang pesepakbola seharusnya bermain. Jangan
pernah berpikir perjuangan yang dahulu kalian perjuangkan akan sia-sia, semua
itu akan menjelma menjadi pengalaman yang mungkin tidak terjadi dua kali. Dua tahun
kedepan, kalian bisa mengenang kejadian-kejadian hari ini, hari ini yang semoga
tidak sama dengan dua tahun mendatang.
Dua tahun kedepan mungkin
kalian sudah menjelma sebagai kekuatan individu yang tangguh, bukan lagi
menjadi pemuda berumur 22 tahun yang masih dengan sisa-sisa pencarian jati dirinya.
Pengalaman ini belum seberapa, di depan masih banyak pengalaman yang menunggu. Semoga
dengan hal ini, kalian menjadi tahu perjuangan itu tidak boleh separuh-paruh,
harus total. Sekali lagi, tetap tegakkan kepalamu, Garuda. Yakinlah, kau telah
menjadi pemenang sejati, pemenang di hati-hati kami.
Komentar
Posting Komentar