Langsung ke konten utama

Timnas U-16, Bukan Kalah Teknik



(17/7)

Indonesia bukan kalah teknik, bukan juga soal klenik. Hasil minor yang didapat timnas u-16 di ajang AFF ini tidak lebih dari persoalan mental. Mereka telah berbuat banyak sejauh ini, serangkaian uji coba mereka lewati dengan superior, bahkan terakhir mereka berhasil menjuarai Tien Phong Plastic Cup 2017 di Vietnam. Seperti wajarnya seorang juara, mereka pun mendapat banyak pujian. Seluruh rakyat Indonesia berharap merekalah secercah cahaya atas redupnya prestasi Indonesia di bidang sepak bola belakangan ini. Harapan itu bukanlah sebuah harapan kosong, jelas, karena setelahnya mereka semakin perkasa dengan menghancurkan lawannya dalam uji coba terakhir sebelum terbang ke Thailand. 

Namun, hasil mengejutkan terjadi sejak partai pertama mereka di AFF Championship U-16. Setelah sebelumnya timnas U-16 mengganyang Myanmar dengan skor mencolok 4-1 di Turnamen Tien Phong, mereka malah melempem dengan ditahan imbang 2-2 oleh lawan yang sama. Begitupun partai setelahnya, setelahnya, dan setelahnya, timnas U-16 ditaklukkan oleh Thailand, Australia, dan Laos, masing-masing dengan skor 1-0, 7-3, dan 3-2. Meski akhirnya mereka berhasil meraup poin penuh dilaga pamungkas melawan Singapura sore tadi, mereka tetap dipastikan angkat koper lebih awal dari turnamen tersebut. 

Lagi-lagi perlu dikatakan, hasil ini adalah hasil yang mengejutkan dan cukup mengecewakan. Namun, tanpa disadari harapan-harapan dan ekspektasi berlebihan yang rakyat bebankan pada merekalah yang memberikan efek samping bagi mereka. Secara tidak sadar mereka dicekoki pujian yang cukup membuat mereka melambung dan membuat mental mereka porak-poranda seiring porak-porandanya pertahanan mereka. 

Namun, tidak ada sebuah kejadian yang terjadi secara kebetulan. Kebetulan mereka kalah, kebetulan mereka salah passing, dan kebetulan-kebetulan yang lain. Kejadian ini pasti ada alasan yang mendasari dan sejauh pemikiran saya yang terbatas alasan kuat yang mendasari kejadian ini adalah kenyataan. Kenyataan yang menampar mereka bahwa mereka belum apa-apa, kenyataan yang membangunkan mimpi indah mereka. Ya, kenyataan yang menyadarkan mereka dari sebuah kelalaian. Saya cukup bersyukur sebenarnya, trend positif mereka terhenti sekarang. Dengan begitu mereka cepat menyadari apa kesalahan-kesalahan mereka dan cepat mengatasinya, lagi-lagi bukan soal teknik. Seperti yang dikatakan Coach Fahry Husaini dalam press conference setelah pertandingan melawan Laos (15/7); ‘Ini adalah teguran dari Tuhan’. Ini benar-benar teguran dari Tuhan, bukan hanya untuk pemain, pelatih, dan semua yang berkecimpung di skuad U-16, tetapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia. 

Sebuah ungkapan terngiang dalam benak saya ketika melihat fenomena ini, sebuah ungkapan lama yang mungkin kata per katanya sudah banyak dihafal orang; Jika kalian tidak bisa mendukung mereka saat kalah, jangan ikut bersorak ketika mereka menang. Ungkapan yang baru saya sadari betul maknanya sore ini. Diantara mereka yang ‘pernah’ mendukung dan ikut berbahagia ketika timnas U-16 juara pasti ada juga yang ikut mencaci mereka disaat seperti ini. Yang dengan seenaknya meminta skuad untuk dibubarkan, meminta Coach Fahry digantikan, dan lain sebagainya. 

Hey, coba lihat dengan sudut pandang yang berbeda. Dengan adanya hasil negatif yang mereka dapat maka mereka juga mendapat penempaan mental yang keras. Disaat harapan sedang tinggi-tingginya, tapi kenyataan tidak sesuai harapan? Sakit bukan? Tidak semua orang bisa seperti mereka yang kembali ke lapangan dengan semangat baru, yang masih setia mencengkeram emblem garuda di dada kiri mereka saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan, yang masih memertahankan muka di hadapan ribuan rakyat Indonesia. Hal-hal seperti inilah yang nantinya akan mereka rasakan dampaknya. Dengan cepat hidup mematahkan mereka, tapi kita akan melihat seberapa cepat mereka bangkit, terlahir kembali dengan semangat dan motivasi yang baru. Dan yang terpenting, kekokohan jiwa yang baru. Sudah menjadi hukum alam yang terjatuh akan berdiri lagi nantinya. 

 Memang sebagai anak muda sudah seharusnya mereka mampu menjadi harapan bangsa, tapi biarlah. Biarlah mereka berkembang dengan cara mereka sendiri, burung yang baru belajar mengepakkan sayap tidak akan asing dengan kata jatuh, terjerembab, dan kata sejenis lainnya. Namun, sewajarnya seekor burung, cepat atau lambat mereka akan bisa mengepakkan sayapnya dengan lebar dan terbang menembus batas ruang dan waktu. 

Tetap berjuang, Pahlawan Cilikku!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali ke Swansea City, Melihat Peluang Nathan Tjoe-A-On Merumput di Inggris

  Nathan Tjoe-A-On Saat Direkrut Swansea City AFC ( www.instagram.com/swansofficial) Nathan Tjoe-A-On dipastikan akan kembali ke klub asalnya, Swansea City, setelah menuntaskan masa peminjaman di SC Heerenveen, klub kasta tertinggi liga Belanda, Eredivisie. Kepastian ini didapatkan setelah Nathan melakukan perpisahan di hadapan pendukungnya sendiri usai laga kontra Vitesse (12/5) lalu. Nathan sejatinya masih memiliki waktu sampai 30 Juni 2024 bersama klub yang berkandang di stadion Abe Lenstra tersebut. Namun, Eredivisie memang tinggal menyisakan satu pekan terakhir di musim ini. SC Heerenveen sendiri akan bertamu ke kandang Sparta Rotterdam (19/5) untuk melakoni laga pamungkas. Pemain kelahiran 22 Desember 2001 ini memang sudah tidak asing dengan atmosfer liga Belanda. Selain karena dirinya lahir dan besar di Belanda, Nathan juga sudah sempat mencicipi Eredivisie bersama Excelsior Rotterdam pada musim 2022/2023. Pemain berpostur 182 cm ini pun merupakan hasil didikan SSB Excels

Beda Huruf, Beda Makna, tapi Sama Pengucapan, Apa Itu?

Hai! Maaf ya, Cerita Ifah telat nge-post nih, jadi minggu ini Cerita Ifah akan nge-post dua kali. Semoga kalian gak bosen deh.    Sebelumnya, bahasa adalah salah satu hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan kita. Mulai dari berbicara, menulis, bahka mendengar pun kita menggunakan bahasa. Namun, apa kita benar-benar paham dengan bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia?  

Asal Usul 'Macan Kemayoran', julukan Persija Jakarta

Jika mau dihitung, saya kenal dan suka Persija kurang lebih delapan tahun. Meski terhitung baru, saya kira saya sudah cukup banyak pengetahuan tentang klub sepak bola representasi ibu kota ini. Dari mulai berapa kali Persija menjuarai kasta tertinggi liga Indonesia, berapa kali Persija berpindah kandang sejak pergi dari lapangan VIJ, atau siapa saja pemain yang keluar masuk di skuad Persija selama delapan tahun ini. Pun dengan julukan yang melekat di tubuh Persija, ‘Macan Kemayoran’, julukan yang rasanya kurang lengkap jika tidak diucapkan sehabis mengatakan ‘Persija Jakarta’. ‘Macan Kemayoran’ sudah tersemat lama di belakang nama Persija, puluhan atau bahkan ratusan kali saya melafalkannya. Dan entah berapa kali semua orang mengucapkannya. Suatu sore saya berpikir, apa arti di balik julukan ini. Karena jujur saja, jika ‘Macan Kemayoran’ tersebut yang ada dalam pikiran saya adalah seekor macan yang garang, bersiap mengamuk, dan yang pasti siap membantai lawannya. Lalu terpiki