(21/5)
Pernah ada seseorang yang bertanya pada saya, ‘Kenapa kamu dukung Persija, secara kan, maaf ya, kalahan?’
Di sini akan saya utarakan sejujur-jujurnya mengapa saya mencintai Persja.
Saya mencintai Persija bukan murni karena saya suka dia, saya suka Muhammad Nasuha yang dulu merupakan pemain Persija. Otomatis saya mengikuti perjalanan Persija. Hari ke hari saya terus mencari tahu tentang Persija. Tentang klub besar, klub dengan segudang sejarah, klub yang sangat berharga, klub yang tidak gampang dilupakan oleh pendukungnya, klub yang sporadis, klub yang terkenal garang, klub yang tidak pernah berjuang sendirian, dan yang lain. Saya mulai menyukai Persija, saya mulai mencintainya, hingga akhirnya Nasuha pergi dari Persija, hati saya tidak bisa pergi dari Persija.
Saya terlanjur CINTA dengan Persija. Jika saya tidak cinta, bisa saja dari awal Persija mengalami musim-musim sulit saya pergi bahkan tutup mata dari Persija. Tapi apa? Tidak, saya setia di belakang Persija. Saya siap lahir batin menerima segala pujian dan cacian yang ditujukan pada Pesija. Persija membuat saya selalu bergetar ketika mereka mencetak gol, persija membuat saya keringat dingin menunggu golnya, persija membuat saya percaya sebuah ketidakmungkinan bisa ditepis. Persija sama seperti Liverpool di liga Inggris, klub bersejarah yang sedang memasuki masa-masa sulitnya. Persija bukan tidak lagi ditakuti, Persija bukan lagi tidak garang. Persija masih macan, MACAN KEMAYORAN. Macan yang terkenal sadis, macan yang tidak takut mati, macan yang mengaum, macan yang mencakar, merobek, PERSIJA MASIH MACAN. Persija belum mati, bagi orang yang cinta pada persija pasti bisa merasakan secercah harapan masih ada.
Tidak, saya bukan lagi membela Persija yang memang saya akui penampilannya menurun. Tapi saya cinta pada persija, saya tidak mau tim kecintaan saya berjuang sendirian tanpa saya dan jakmania lain di belakangnya. Disaat-saat sulit seperti ini sudah semestinya kita berteriak lebih kencang, sudah semestinya kita tunjukkan bahwa kita benar-benar mencintai Persija. Persija kalah bukan sebagai bahan cacian, hal itu sebagai peringatan, sebagai cambuk. Bukan hanya pemain yang harus lebih baik, tapi juga kita, jakmania.
Dan untuk pemain, jangan jadikan keinginan kami untuk menang sebagai tekanan. Jadikan ini sebagai motivasi, bahwa disaat kalian sedang di bawah, bukan cuma keluarga dan kerabat dekat yang peduli, kita, jakmania yang mungkin bukan siapa-siapa kalian juga peduli. Di saat kalian di bawah, kami ada setingkat di bawah kalian untuk kembali menyokong, mendorong, untuk bisa bersama-sama berjuang dan bersama-sama meraih kemenangan.
Persija belum kehilangan pamor, Persija belum habis, Persija belum mati, percayalah di usia renta seperti ini bukan berarti Persija habis. Yang benar-benar dibutuhkan saat ini adalah momentum, sebuah momentum yang harus diciptakan oleh kita sendiri, sebuah momentum kebangkitan. Persija tidak boleh kehilangan percaya diri, lawan masih menakuti kita, lawan masih menganggap kita ada.
Lalu setelah saya melewati semua ini, saya sadar apa yang membuat saya masih bertahan di sini: CINTA. Cintalah yang membuat saya percaya, cintalah yang membuat saya bertahan mendukung Persija.
Persija, yakinlah, disaat seperti ini kami tidak akan berpaling. PERCAYALAH, cahaya terang di depan sana menanti.
Komentar
Posting Komentar