“Mbah, tumbas kembang
setunggal.” Yang dipanggil ‘mbah’ mengangguk. Tangan keriputnya lihai
mengambil bunga-bunga kubur. Dicampurnya menjadi satu dalam keranjang yang
terbuat dari anyaman jerami. Bau minyak mawar menguar. Dalam diamnya si mbah
terus bekerja. Mbah Sarmi, si pemilik tangan keriput itu mengelap keringatnya
dengan sisa ikatan kembennya.
Jika kita bergeser sedikit ke kiri, kita akan melihat banyak lapak
berjejer di sana. Bunga kamboja berserakan di sekitarnya. Jika sedikit lagi
bergeser, kita akan melihat sebuah papan kayu, dempulnya sudah usang,
penegaknya sudah nyaris rubuh, tulisannya yang ditulis dengan kapur hampir
kabur. Samar-samar bisa terbaca, ‘Pasar Kembang’.
“Sayah nggih mbah?” Tanya
Mbah Ratmi yang hanya dibenarkan lewat anggukan oleh Mbah Sarmi. Mbah Ratmi,
pemilik lapak sebelah adalah orang paling dekat dengan Mbah Sarmi.
“Laiknya dhewe sampun
leyeh-leyeh mbah.” Ujar Mbah Ratmi sembari mengibas-ibaskan tangannya,
berharap angin bertiup kearahnya.
“Laiknya dhewe wis rak ono,
wis mati.” Tanggap Mbah Sarmi dingin. Keduanya terdiam, helaan nafas
keduanya beradu. Mbah Ratmi tercenung. Ia
memilih bungkam.
.
Lapaknya sepi, tidak ada ceceran bunga diekitarnya. Pukul 9 pagi.
“Mbah, tumbas.” Mbah
Ratmi tersentak dari lamunannya, langsung cekatan melayani pembelinya.
“Niki.” Eh?
“Putrane…” ucapan Mbah
Ratmi menggantung.
“Nggih, kula putrane Mbah
Sarmi, mohon donganipun.” Mbah
Ratmi tercenung. Hidup memang akan berputar, penjual bungapun suatu saat akan
membeli bunga.
Komentar
Posting Komentar