Langsung ke konten utama

Bagaimana Novel Dapat Mempengaruhi Emosi Kita?




Awal saya memutuskan menulis artikel ketika, untuk kesekian kalinya saya menangis saat membaca novel. Saat saya bercerita pada teman-teman saya, banyak yang bilang saya lebay. Saya pun merasa, kok saya jadi melow banget. Padahal  saya terhitung orang yang jarang menangis. Saya ingat sekali, saat itu saya masih kelas 3 SD, teman saya datang kepada saya sambil menangis, saat ditanya kenapa?, dia menunjuk novel yang ada di tangannya, dan perasaan saya waktu itu sama dengan perasaan teman-teman saya saat ini: LEBAY.



Bagi para maniak novel, menangis saat membaca tentu hal biasa. Mereka seakan-akan menjadi tokoh dalam cerita tersebut. Secara tidak sadar mereka kehilangan dunia nyata mereka, masuk dalam dunia imajinasi penulis. Dan sebenar-benarnya penulis, mereka tidak akan sepenuhnya mengarang cerita, pasti ada banyak penggalan cerita yang mereka ambil dari dunia nyata atau dengan riset tersendiri. Tentu saja hal ini membuat emosi pembaca naik turun karena, ternyata itu tidak sepenuhnya mengarang, yang berarti pernah terjadi di dunia nyata. Apalagi jika penulis menggunakan karakter yang hitam-putih, pembaca akan selalu merasa di karakter putih dan menganggap karakter hitam selalu jahat pada si Putih.


Sempat saya berpikir, kenapa harus nangis ‘cuma’ karena novel yang bahkan itu fiksi. Pertanyaan lama saya itu akhirnya terjawab sekarang, saat saya sekali lagi harus meneteskan air mata untuk novel.


Ternyata, disitulah peranan karya sastra sesungguhnya bermain. Kebanyakan memanifestasikannya dengan menangis, dan tidak ada yang salah dengan itu. Seperti banyak diketahui, novel sastra lebih banyak menguras emosi daripada novel populer. Kenapa? 


Seperti yang pernah saya tuliskan dalam artikel saya terdahulu, bahwa karya sastra terutama novel dapat membangkitkan perasaan, dalam hal ini kita bisa menyebutkan kecerdasan emosional (Emotional Quotient). Sebut saja, saat kita sedang membaca konflik yang sudah mencapai klimaksnya, kita bisa ikut merasakan apa yang dirasakan tokoh, disitu, ya disitulah sebenarnya kecerdasan emosional kita bekerja. Kita bisa ikut sedih, atau merasa berempati


Tentu saja, teman-teman saya yang tidak membaca novel yang sama dengan saya bilang saya lebay, sama seperti saya bilang pada teman saya dulu, karena mereka tidak merasakan perasaan yang timbul dari novel itu sendiri. Mereka hanya mengendus, mereka-reka, tidak sama dengan yang membaca langsung.


Dan, ternyata seseorang yang perasaannya stabil, memiliki paradigma berpikir yang baik. Mereka selalu tenang dan tidak gugup menghadapi masalah. Mereka berhasil merefleksikannya dalam kehidupan nyata mereka. 


Ya, begitulah proses emosi saat membaca muncul. Yang menangis bukan berarti lebay ya.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali ke Swansea City, Melihat Peluang Nathan Tjoe-A-On Merumput di Inggris

  Nathan Tjoe-A-On Saat Direkrut Swansea City AFC ( www.instagram.com/swansofficial) Nathan Tjoe-A-On dipastikan akan kembali ke klub asalnya, Swansea City, setelah menuntaskan masa peminjaman di SC Heerenveen, klub kasta tertinggi liga Belanda, Eredivisie. Kepastian ini didapatkan setelah Nathan melakukan perpisahan di hadapan pendukungnya sendiri usai laga kontra Vitesse (12/5) lalu. Nathan sejatinya masih memiliki waktu sampai 30 Juni 2024 bersama klub yang berkandang di stadion Abe Lenstra tersebut. Namun, Eredivisie memang tinggal menyisakan satu pekan terakhir di musim ini. SC Heerenveen sendiri akan bertamu ke kandang Sparta Rotterdam (19/5) untuk melakoni laga pamungkas. Pemain kelahiran 22 Desember 2001 ini memang sudah tidak asing dengan atmosfer liga Belanda. Selain karena dirinya lahir dan besar di Belanda, Nathan juga sudah sempat mencicipi Eredivisie bersama Excelsior Rotterdam pada musim 2022/2023. Pemain berpostur 182 cm ini pun merupakan hasil didikan SSB Excels

Beda Huruf, Beda Makna, tapi Sama Pengucapan, Apa Itu?

Hai! Maaf ya, Cerita Ifah telat nge-post nih, jadi minggu ini Cerita Ifah akan nge-post dua kali. Semoga kalian gak bosen deh.    Sebelumnya, bahasa adalah salah satu hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan kita. Mulai dari berbicara, menulis, bahka mendengar pun kita menggunakan bahasa. Namun, apa kita benar-benar paham dengan bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia?  

Asal Usul 'Macan Kemayoran', julukan Persija Jakarta

Jika mau dihitung, saya kenal dan suka Persija kurang lebih delapan tahun. Meski terhitung baru, saya kira saya sudah cukup banyak pengetahuan tentang klub sepak bola representasi ibu kota ini. Dari mulai berapa kali Persija menjuarai kasta tertinggi liga Indonesia, berapa kali Persija berpindah kandang sejak pergi dari lapangan VIJ, atau siapa saja pemain yang keluar masuk di skuad Persija selama delapan tahun ini. Pun dengan julukan yang melekat di tubuh Persija, ‘Macan Kemayoran’, julukan yang rasanya kurang lengkap jika tidak diucapkan sehabis mengatakan ‘Persija Jakarta’. ‘Macan Kemayoran’ sudah tersemat lama di belakang nama Persija, puluhan atau bahkan ratusan kali saya melafalkannya. Dan entah berapa kali semua orang mengucapkannya. Suatu sore saya berpikir, apa arti di balik julukan ini. Karena jujur saja, jika ‘Macan Kemayoran’ tersebut yang ada dalam pikiran saya adalah seekor macan yang garang, bersiap mengamuk, dan yang pasti siap membantai lawannya. Lalu terpiki