Hari sudah masuk waktu sore, langit mulai memancarkan sinar
kekuningan dari ujung barat, sebentar lagi matahari digantikan tugasnya oleh
bulan untuk menemani manusia dalam pekatnya malam.
Suatu pemandangan biasa terjadi di Kampung Ture, dengan adat Maluku
yang khas, Kampung Ture memberi warna sendiri di wajahnya. Jika hari sudah
mulai gelap dan adzan maghrib sayup-sayup
terdengar, orang-orang ramai menghentikan pekerjaannya, masuk ke rumah, lalu
keluar lagi menuju langgar, mereka
mendirikan salat di sana. Di Kampung Ture, tidak ada mushala apalagi masjid
megah, mereka hanya bisa membangun rumah papan sederhama yang dinamakan langgar sebagai tempat berbincang dengan
Tuhan-nya. Hal seperti ini sangat lumrah, bahkan anak-anak pun sudah diajari
untuk selalu melaksankan wajibnya di langgar.
Anak-anak di sini dengan penuh kesadarannya berangkat menuju langgar. Dan seharusnya hari ini sama seperti
hari-hari yang lalu, Saleh , Abdul, dan Rizhal bersama-sama menyusuri jalan setapak menuju
tempat salat, mereka selalu berebut shaf paling depan, agar pahalanya banyak, ujar
ketiganya.
Namun hari ini lain, Abdul tidak berangkat bersama Saleh dan Rizhal.
Saat ditanya Haji Imran, mereka hanya diam, mengangkat bahu, tidak tahu, isyarat keduanya, Haji Imran
menghela nafas. Dan, kejadian hari ini pun terulang lagi besoknya, besoknya dan
besoknya. Ada apa dengan Abdul? Heran
Saleh dan Rizhal. Abdul memang tetap menjalankan ibadah salat di langgar, tapi ia selalu berangkat
terlambat, saat iqomah terdengar dia
baru bergegas menuju langgar, hal ini
pun membuat Saleh dan Rizhal heran.
“Besok aku akan ke rumah Abdul,” Tandas Bimo pada Saeful
“Ya, aku akan ikut dengan mu,” Sahut Rizhal.
Esoknya, mereka berangkat ke langgar
lebih awal, mereka akan menuju rumah Abdul dulu.
Setelah mengucap salam, dan Abdul sudah mempersilahkan masuk, Saleh
dan Rizhal duduk di pelataran.
“Ada apa dengan mu, boi?”
Saleh memulai cakapnya.
“Ada apa dengan ku? Apa ada yang berubah dari ku?” Tanya Abdul
balik.
“Sekarang kau selalu terlambat menuju langgar,” Kini giliran Rizhal membuka mulutnya. Pelataran rumah Abdul
lengang, matahari menyisakan ekor sinarnya yang lembut, hanya deru nafas
ketiganya yang tersapu angin.
“Jujur boi, aku sedang
ketagihan game, karena itu aku selalu
terlambat pergi salat” Ucap Abdul akhirnya. Saleh dan Rizhal menunduk, ah
mereka juga dulu senang bermain game hingga
lupa kewajibannya, masalah klasik, pikir mereka.
“Seberapa penting game itu
untuk mu, boi?” Rizhal merangkul
pundak sahabatnya itu. Yang dirangkul malah menunduk, lalu menggeleng.
“Boi, maukah kau ku
ceritakan sesuatu?” Saleh memandang wajah kedua sahabatnya. Abdul dan Rizhal
mengangguk, mempersilahkan Saleh bercerita.
“Pada suatu waktu, ada sebuah kerajaan, seperti kerajaan pada
umumnya, mereka memiliki putra mahkota yang diagungkan. Suatu ketika, sang
putra mahkota diculik dan diketahui penculiknya meninggalkannya diatas bukit.
“Tentu, sang raja memiliki anak buah yang sanggup untuk menolong
sang putra, namun raja berfikir lain, dia membuat pengumuman bagi siapapun
warganya yang bisa membawa balik putranya dengan selamat ia akan mendapat unta,
jika dalam keadaan tidak bernyawa mendapat sapi, dan jika sudah sampai di atas
bukit namun tidak sanggup membawa putranya akan mendapat kambing. Perlu diketahui,
bukit itu tidak mudah untuk didaki, menurut kepercayaan mereka hanya orang-oang
yang diberkati Tuhan saja yang mampu mendaki bukit itu.
“Salah seorang pemuda kampung di sana tertarik mendengar kabar ini,
dia ingin menjadi yang pertama mendaki bukit itu dan membawa pulang sang
pangeran, tapi dia terlalu malas untuk sekedar mempersiapkan keberangkatannya
itu, setelah hampir sekian lama akhirnya ia pun berangkat juga. Setelah melakukan
perjalanan panjang dan melelahkan, tak disangka bahkan oleh dirinya sendiri, ia
sampai di pucuk bukit itu, tugasnya sekarang adalah untuk membawa pulang sang
pangeran, namun sejauh mata memandang tidak ada tanda-tanda sang putra mahkota,
setelah ia terus mencari dan tidak ketemu, akhirnya ia memutuskan turun,
sesampainya di kerajaan, ia sangat kaget karena sang putra mahkota sudah
ditandu menuju rumah sakit istana. Ia begitu menyesal karena tidak segera
mendaki bukit itu dan mencari putra mahkota. Dengan ini, ia hanya mendapat
kambing, padahal harga unta dan kambing sangat jomplang saat itu.”
“Apa kau mengerti maksud cerita ini, boi? Cerita ini bapak aku berikan saat aku mulai malas pergi ke langgar. Apa kau mau hanya mendapat
kambing Dul, padahal dahulu kita selalu menduduki shaf paling depan dalam salat?” Pungkas Saleh. Rizhal mengendurkan
tangannya, menatap Abdul. Yang ditatap menunduk kian dalam, kemudian ia
mengangkat wajahnya dan tersenyum.
“Aku tidak mau mendapat kambing, boi.” Abdul beranjak, mengambil sarung dan mereka bertiga tergelak
bersama.
Komentar
Posting Komentar