Apa yang dikatakan orang-orang memang benar adanya, tentang
keluarga Daeng Ruli yang memiliki anak-anak yang sukses. Bayangkan, tiga
anaknya sekolah perguruan tinggi di Jawa. Orang-orang di kampung ini memang selalu
tahu, dan tidak pernah sok tahu, obrolan mereka di tukang sayur, di pangkalan
ojek, selalu benar. Seperti sore ini, lagi-lagi keluarga orang tersohor di
kampung ini menjadi topik, siapa lagi kalau bukan Daeng Ruli. Tak
habis-habisnya keluarga ini dibicarakan, biasanya mereka membicarakan yang
baik-baik, tapi sore ini berbeda, mereka benar-benar sedang menggosip.
“Hey, tahukah kalian, Dian, putri Sulung Daeng Ruli kabur dari
rumah,” Ucap salah satu dari mereka.
“Woah! Iyakah? Aku belum mendengarnya,” Ucap lainnya. “Ya, aku
sudah mendengarnya,” Ucap yang lain lagi. Begitu seterusnya, ucapan itu sahut
menyahut bak sahut-sahutan kawanan burung.
Sementara itu, nun di sana, seorang wanita sedang terengah-engah
mengatur napasnya. Berkilo-kilo meter dia berjalan, meninggalkan rumah yang
megah di jantung kota sana. Dia tengah mencari jawaban, jawaban atas pertanyaan
dirinya sendiri. Tentang mengapa dan bagaimana.
*
Tengah pekan lalu, Dian sedang belanja di pasar, tak disangka, ia
bertemu kawan lamanya, tak disangka pula, kawan itu pula yang dulu sering
mengejeknya. Terngiang kembali ejek-ejakan itu di kepalanya.
“Hei Dian! Masihkah kau sebodoh dulu?” Suara itu memecah lamunan
Dian. Ia terkesiap, menatap sekitar bak orang ling-lung. “Hahahaha, ternyata
engkau masih sama saja,” Ucap suara itu lagi. Dian terdiam, lalu berlalik badan
meninggalkan kawan lamanya itu.
Hal itulah yang menyebabkan Dian, diam-diam pergi dari rumah untuk
bertanya tentang dirinya pada kakeknya. Konon katanya, kakeknya adalah
penghafal ulung, berikan beliau sepuluh kalimat, biarkan ia berkonsentrasi,
paling tidak satu menit, lalu suruh ia
mengucapkannya, ia akan ingat dengan jelas kata per katanya. Dian ingin
kakeknya mengingat sesuatu.
*
Dian tengah dimanjakan oleh neneknya, diberikan kue jahe, susu
hangat, dan berbagai hal lain, maklum Dian tidak pernah berkunjung selama
sepuluh tahun terakhir.
“Bejat! Macam bapak mu!” Tubuh tegap kakek melaju mantap di atas
kerikil. “Kenapa kau kabur hah?, sudah berani jadi anak bejat kau rupanya,”
Racau kakek. Dian tertunduk. “Kau gadis, boi.” Dian makin tertunduk. Rupanya sejak
perjalanan kakek telah mengetahui Dian berada di rumahnya, dan dia juga tahu
bahwa Dian pasti kabur, karena bapaknya pasti tidak memperbolehkannya pergi ke
rumah kakeknya. Bayangan masa lalu terangkat dalam memori kakek.
*
“Kau percis bapak mu, suka kabur, berandal, tak sia-sia aku
mendoakannya selalu, lihatlah dia jadi orang sukses di sana,” Kakek mulai bisa
mengontrol emosinya. “Apa hanya aku yang mewarisi sifat bapak ku, kek?” Dian
mulai mengangkat wajahnya, menatap wajah gahar kakeknya, khas pedalaman
Sumatra. “Ya, kau, hanya kau, karena kau sajalah yang terkena tulah itu,” Kakek
bersiap membuka rahasia lama Ruli, anaknya.
“Tahukah kau Dian, dulu bapak mu adalah seorang berandal, jarang
pulang, jarang mandi, bahkan dia jarang makan, bukan karena tidak diurus oleh
nenek dan kakek mu ini. Tapi tahukah kau karena apa?” Tanya kakek, Dian belum
pernah mendengar cerita ini sebelumnya, ia pun menggeleng. “Karena teman
karibnya!” Wajah kakek merah padam. “Teman karibnya itu mengajaknya untuk
bermalam sambil bermain lotre. Kakek mu ini sudah memberi peringatan, jangan
kamu berkawan dengan orang seperti itu. Tapi, bapak mu sudah kalap, dia pernah
menang dan ingin menang lagi dan lagi. Tak henti-hentinya orang tua ini berdoa,
agar anak semata wayangnya disadarkan. Hingga suatu hari, doa kakek
satu-persatu terkabul,” Kakek mulai tersenyum, Dian mendengarkan dengan takzim.
“Bapak mu itu kalah lotre untuk pertama kalinya, mungkin karena sudah
seringkali menang dan karena sombongnya dia, dia mempertaruhkan banyak sekali
uang, bahkan uang yang tidak pernah sama sekali ia punyai pun ikut
dipertaruhkan, saking sombongnya dia. Dan saat ia kalah, ia sama sekali tidak
memiliki uang, dan teman-teman sepermainan loter itu mengutukinya, aku tidak
tahu kutukan apa yang mereka lontarkan itu,” Kakek terdiam. “Baru ku ketahui
kutukan itu saat kau lahir, bapak mu cerita sendiri kepada ku, katanya, ‘teman
ku mengutuki ku bahwa jika aku punya anak nanti, anak sulungku akan bejat,
berandal, tidak terurus macam aku, aku takut’ huh, baru pernah aku mendengarnya
mengucapkan takut. Tapi bagaimanapun, aku adalah cucu ku, aku pun ikut
memikirkan hal itu, lalu ku suruh saja dia memberi mu nama Dian, agar kau
senantiasa terang,” kakek terharu, Dian melongo
.
“Tak disangka nama Dian tak mempan bagimu, lihatlah bagaimana kau
telah sampai di rumah ini dengan selamat tapi secara diam-diam,” Kakek
terkekeh. “Sekarang, cerita itu sudah basi nak, tidak ada artinya lagi tulah
itu, bagi ku, kau tetap cucu terbaik ku, lihatlah seberapa sering kau membuat
jengkel bapak mu, tak apa kau akan sukses dengan cara mu sendiri, sekarang, pertanyaan
mu sudah terjawab nak?” Kakek tertawa, Dian tambah melongo.
Komentar
Posting Komentar