Sejak tigapuluh menit yang lalu, aku berdiri di sini, sendirian. Menunggu
bus yang datang. Meski banyak orang berlalu lalang, tapi tidak satu pun saling
sapa. Meski banyak orang yang menunggu satu hal yang sama, tapi tidak satu pun
saling bertanya.
Ya halte bus, tempat orang menanti bus ini hampir setiap hari aku
singgahi. Semua punya satu tujuan, menunggu bus nya datang lalu menaikinya. Tapi
tidak semua orang datang dengan selera mengobrol. Terkadang mereka terlalu
sibuk hanya untuk sekedar mengobrol, atau terlalu letih untuk bertanya, walau
hanya dengan menyapa, “Mau kemana, mba?”.
Tapi tidak semua begitu, terkadang ada sepasang anak muda yang
tertawa cekikikan duduk di halte, atau ibu dan anaknya yang saling tukar
pendapat mengapa bus di negara ini sering datang telat, dan berbagai pasangan
lain yang meski sudah bersua puluhan kali tetap tidak kehabisan bahan obrolan.
Sedangkan aku, aku hanya duduk menyimak pagi yang berselimut
mendung atau sore yang lebih cepat gelap akhir-akhir ini. Setiap hari aku
selalu sendirian datang ke sini. Tidak ada yang bisa mengerti apa tujuan ku,
aku mau kemana atau darimana, semua abai dengan sekitarnya. Meski begitu,
orang-orang yang sibuk itu selalu mendadak beringas ketika pintu bus
terbuka, tujuannya pun sama, agar tidak kehabisan tempat duduk.
Pada akhirnya, menanti bus sama halnya dengan penantian-penantian
lainnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi satu detik kemudian, apa bus
akan berhenti lama karena ngetem dan kita sudah mati bosan dengannya,
atau kita akan tertinggal bus karena kursi telah diduduki semua.
*
Suatu hari, aku pernah bertemu satu orang yang tidak ku kenal, kita
bertemu saat menanti bus bersama, dia seorang wanita, tidak tua tidak muda tapi
lebih tua dari ku yang masih kuliah, parasnya ayu, bibirnya selalu menyunggingkan
senyum, dia bertanya pada ku, “Nak, tahukah kau mengapa kita tidak pernah tahu
apa yang akan sesaat lagi terjadi?” Aku menggeleng tanda malas dengan
pertanyaannya. Tapi kemudian dia melanjutkan, tidak peduli dengan wajah malas
ku, “Agar kau bisa menjalani kejadian itu dengan baik, bayangkan kau sudah tahu
detil apa yang akan terjadi, pasti kau tidak punya rencana dadakan untuk
menghadapinya,” Aku menoleh, mulai tertarik dengan obrolannya, “Tapi terkadang
kita sudah paham apa yang akan terjadi nantinya berdasarkan apa yang kita
lakukan sekarang.” Aku mulai berani beradu argumen dengannya. “Apa kau yakin
hal itu akan sama persis seperti yang kau bayangkan, apa kau pernah
membayangkan tukang sate yang mahir tiba-tiba kesulitan membuat api karena
badai angin?” Aku hanya menyimak, menunggunya melanjutkannya. Tapi dia terdiam
lama, tidak melanjutkan, hingga tiba-tiba ia beranjak dari tempat duduknya, “Bus
ku sudah datang, nak kau perlu ingat, walau kau sudah menanti panjang atas apa
yang kau harapkan, tidak semua harapan itu sama persis dengan harapan awal mu,
bersiaplah dengan rencana kreatif mu. Sebentar siapa tadi nama mu?” Tanya nya, “Riska.”
Aku menjawab pelan, dia mengangguk takzim. Setelahnya dia masuk ke dalam bus
dan sejak hari itu aku tidak pernah bertemunya lagi.
*
Tepat saat bus berhenti, lamunan ku pun berhenti, benda yang akan
menghantarkan aku ke tujuan ku telah tersedia, dan aku bersiap dengan rencana
kreatifku, bersiap dengan hal-hal yang mungkin terjadi, karena pada akhirnya
segala sesuatu akan selalu menjadi rahasia alam. []
Komentar
Posting Komentar