Penulis Nasional, Ahmad Tohari. |
“Maaf saya mengalami jetlag, perjalanan 16 jam dari
Frankfrut baru sampai Jakarta Kamis sore.” Ujarnya ramah, bibirnya
menyunggingkan senyum, amat lebar. Pria kelahiran Tinggar Jaya, 67 tahun silam
itu kemudian duduk.
Dulu, dua tahun yang lalu, seorang guru saya pernah berkata saat
saya akan mengikuti lomba cipta cerpen, “Kamu kalau sampai di Jakarta nanti,
akan bertemu dengan penulis-penulis besar, seperti Ahmad Tohari, mau?” Saya
jelas mengangguk, meski belum pernah mendengar nama Ahmad Tohari sebelumnya,
saya sudah membayangkan betapa hebatnya beliau. Tapi kemudian, saya tidak lolos
ke Jakarta, mimpi saya bertemu penulis besar pupus sudah.
Akan tetapi hari ini, 24 Oktober 2015, saya bertemu langsung dengan
seorang penulis besar Indonesia itu, bahkan dunia pun mengenalnya, Ahmad
Tohari. Inilah seseorang yang dua tahun lalu ‘seharusnya’ saya temui. Tidak
banyak orang yang berkesempatan berbincang dengan beliau. Beliau diundang pihak
sekolah untuk mengisi acara bulan bahasa di sekolah saya, ya namanya sastrawan,
beliau pun berbicara berkutat pada dunia sastra saja. Tapi, penyajiannya yang
berbeda membuat saya tertarik mendengarkan
Ahmad Tohari, telah menulis berpuluh-puluh novel, dan beratus-ratus
cerpen, novel pertamanya, Di Kaki Bukit Cibalak (1986) langsung menuai antusiasme
masyarakat, hal ini membuat beliau semakin semangat untuk menulis. Pria berutubuh
mungil tersebut ternyata memiliki hobi membaca dari kecil, bahkan saat SMP,
beliau pernah bolos sekolah hanya untuk menyelesaikan novel yang sedang
dibacanya. Dari membaca inilah proses kreatifnya dimulai, novel-novel beliau
banyak dipengaruhi oleh gaya kepenulisan novel yang ia baca. Beliau berkata,
sebutkan novel yang pernah kamu baca, saya pasti sudah membacanya. Beratus-ratus
novel telah dilahapnya.
Beliau sangat mencintai dunia sastra, menurutnya karya sastra dapat
membantu menanamkan nilai-nilai yang berasal dari ajaran agama, sebut saja
novel tentang kejujuran, kepedulian, sudah tidak terhitung jumlahnya. Baginya sastra
itu menyampaikan nilai, bahkan dengan sastra beliau bisa menyeimbangkan otak
kanan dan otak kirinya, sastra itu kesebandingan intelektual dan perasaan. “Di
Indonesia sudah banyak orang pandai, tapi belum banyak orang perasa,” Ungkapnya
tegas.
“Saya dulu tidak memiliki mimpi jadi penulis, bagi saya menulis
hanyalah sebuah hobi, tidak disangka, menulislah yang membawa saya keliling
dunia,” Ungkapnya sembari tertawa lebar. “Dulu, saya tidak punya mesin ketik,
mau beli kertas tidak punya uang, apalagi penerbit tidak menerima tulisan
tangan, lalu saya ke balai desa, meminjam mesin ketik, memulai menulis dari
situ, tapi kemudian pak carik meminta kembali mesin ketik itu, saya kembali
bingung, tapi apa saya berhenti? Tidak. Bayangkan jika saya berhenti di situ,
mungkin saya tidak akan pernah berdiri di sini.” Beliau tertawa kembali
.
Dari kecil beliau terbiasa menulis catatan harian, “Bahkan, orang
yang berjalan pun saya catat.” Beliau kembali memamerkan barisan gigi putihnya.
Walaupun tidak menjadi satu cerita utuh, setidaknya dari catatan kecil itulah yang
membuat Ahmad Tohari dapat membuat cerita yang luar biasa. Beliau berkata,
sering-seringlah berlatih, dengan berlatih kamu dapat dengan mudah merasakan
cerita itu, apa ada yang kurang pas, atau terlalu berlebihan. “Coba kamu minta
saya menulis, tunggu satu jam, saya kirimkan ke rumah mu.” Beliau terkekeh. “Apa
saya hebat? Tidak! Saya hanya terbiasa.” Ujarnya bersahaja.
Motto hidupnya sangat sederhana, bahwa sederhana itu indah,
sesederhana kata penutup beliau setelah dua setengah jam berbincang,
rajin-rajinlah membaca. Sudah, hanya itu, sosok sederhana itu kemudian hilang
di kelokan lorong.
Komentar
Posting Komentar