Aku dan Rasaku, Untukmu


Semua ini bermula dari sebundel koran yang dilayangkan loper melewati pagar rumah saya. Koran terbitan media nasional bertarikh Desember 2010 itu menyita atensi saya karena memampangkan para punggawa tim nasional yang sedang moncer di AFF Cup pada halaman depannya. Adalah foto Muhammad Nasuha dengan bebat di kepala salah satunya, diikuti dengan seutas paragraf di bawahnya yang kemudian membawa saya berkenalan dengan sebuah klub bernama Persija Jakarta.

Wajar saja kata ‘Persija’ berceceran di artikel itu karena pada 2010, Nasuha yang terkenang dengan sebiji golnya di turnamen itu tengah mengabdikan dirinya untuk Macan Kemayoran. Saya rasa, sejak itu lah kata ‘Persija’ senantiasa bercokol di kepala saya. Setelah melakukan riset selama beberapa hari dengan membongkar tumpukan koran kepunyaan bapak saya, serta hasil berselancar di dunia maya dengan akses internet yang belum seluas sekarang, dengan semangat saya menceritakan tentang Persija pada teman sebangku saya di sekolah. Bahwa nun jauh di sana, di ibukota yang megah, ada sebuah tim hebat bernama Persija Jakarta.

Saat itu, sebagai anak daerah yang masih berusia 9 tahun, nama Persija jelas asing di telinga saya. Koran-koran lokal yang sering dibeli bapak saya, pada kolom olahraganya sudah terisi penuh oleh berita tim provinsi atau malah pemain-pemain bule berseragam hitam-birunya internazionale. Maka suatu hal yang terasa keren sekali saat saya mengikrarkan kecintaan saya pada Persija di hadapan seorang teman itu (atau di satu sisi malah terlihat naif dan polos sekali.)

Hal yang saya tahu saat itu, Persija adalah klub legendaris dengan 10 gelar juara domestik, terbanyak diantara seluruh tim di negeri ini. Persija adalah rumah untuk pemain-pemain berlabel tim nasional. Persija adalah klub yang ditakuti dan disegani. Persija adalah cinta dan Persija adalah harapan. Di usia semuda itu, entah bagaimana saya sudah mabuk kepayang. Musim itu adalah musim terindah bagi saya, hati saya tengah merekah sempurna hanya untuk Persija. Sekalipun mereka bermain buruk dan tidak berhasil meraup angka, dengan senang hati saya memaafkannya. Saya tetap tersenyum bahkan saat beberapa kali rentetan hasil buruk menyambangi Persija.

Hingga kemudian saya beranjak besar dan mulai merasa gusar hanya karena hasil imbang. Di masa itu, Persija sedang menghadapi musim yang berat. Mereka terengah-engah hanya untuk menghindari ancaman degradasi. Ditambah konflik internal yang terasa rumit untuk dipahami anak baru gede seperti saya. Hasil buruk yang terus terjadi itu membawa saya pada dilema; bertahan atau mencari klub lain yang dapat membuat saya memaafkan kesalahannya. Namun, tanpa saya cari pun, saya tahu jawabannya tidak ada.

Persija adalah satu-satunya klub itu. Yang tanpa saya sadar selalu menghadirkan degup jantung yang bertalu bahkan saat pemain baru bersiap di lorong stadion. Yang membawa saya pada angan-angan ‘nanti kalau sudah besar aku mau nonton langsung di lapangan’. Yang seringkali menjadi alasan saya untuk membolos kelas mengaji di sore hari. Atau yang membuat saya diam-diam mengusap air mata, entah haru atau pedih.  Perasaan itu mengalir tanpa ragu, merasuki setiap relung tubuh saya.

Pada awalnya, saya pikir mencintai Persija hanya sebatas pemenuh rasa penasaran saya pada Nasuha, tapi ternyata selepas Nasuha pergi, perasaan saya tertinggal di setiap gol yang dicetak Bambang Pamungkas, umpan silang yang dilambungkan Ismed Sofyan, atau derap lincah Ramdani Lestaluhu. Setelah segala hal yang saya lalui, hal-hal itu lah yang kemudian saya sadari sebagai sebenar-benarnya cinta. Cinta lah yang membuat saya percaya dan tetap bertahan di belakang pemain yang telah mengerahkan segala daya upayanya, entah apapun hasilnya.

Cinta yang tulus tanpa menuntut balas, meski akhirnya Persija membayarnya lunas dengan juara liga tepat di ulang tahun saya ketujuh belas. Kontan. Perjalanan saya mengawal Persija memang baru sebentar, tapi saya berjanji, selamanya, rasa saya akan tetap sama. Perasaan yang sama dengan yang saya rasakan 10 tahun silam, saat saya jatuh hati pertama kali padanya.

Terserah mereka ku hanya cinta Persija.

Komentar