Timnas u-22: Pesimisme dan Raja ASEAN

(26/2)
Indonesia menemui paradoksnya malam ini. Timnas yang malam ini bermain menempatkan dirinya bagai bunga mawar di gurun pasir. Merekah merah, sendirian.

Atmosfer sepak bola dalam negeri akhir-akhir ini memburuk, sekaligus membaik. Memburuk karena huru-hara yang disimpan Pak Joko “Jokdri” Driyono dan hulubalangnya terkait permainan kotor sepak bola, mulai mencuat ke publik. Membuat ramai pemberitaan dan tak kalah pentingnya membuat miris para pecinta sepak bola tanah air. Namun, di satu sisi juga membaik karena hal itu cepat terungkap dan tidak semakin membusuk di tangan para elite.

2018 menyisakan banyak cerita yang terus berlanjut sampai saat ini. Setelah babak belur di AFF Cup 2018, publik sepak bola kita digemparkan dengan munculnya berbagai kisah ‘permainan belakang’ yang ada di kompetisi domestik buatan PSSI, dari kasta terendah sampai hierarki tertinggi. Dari akar rumput sampai pemangku kepentingan. Bukan cerita baru memang, tapi melihatnya terungkap sedemikian di ruang publik tentu tetap membuat masyarakat kaget dan heboh.

Sampai hari ini sudah banyak pengurus PSSI yang dimintai keterangan oleh satgas anti mafia bola bentukan POLRI. Ada yang pulang, banyak yang ditahan. Obrolan tentang kotornya sepak bola Indonesia hari-hari ini menjadi lumrah. Hampir semua orang larut dalam pembahasan itu, sampai mungkin beberapa ada yang tidak sadar tanggal 7 Januari kemarin, Indra Sjafrie memulai pemusatan latihannya untuk menghadapi piala AFF u-22 di Kamboja. Berita ini hanya menjadi cameo, berita sampingan yang tidak penting-penting amat untuk disampaikan. Terlebih sekjen PSSI, Ratu Tisha, menyampaikan ajang ini hanyalah ajang uji coba untuk serangkaian turnamen yang akan diikuti timnas di 2019.

Tim asuhan Indra Sjafrie tampak biasa saja, dilihat dari tiga kali uji coba melawan tim lokal, semua berakhir imbang. Bahkan tim ini sama sekali tidak pernah merasakan uji coba internasional. Hasil seri berlanjut pada dua laga awal di turnamen sesungguhnya. Saya yakin, rakyat tidak terlalu banyak berharap pada tim ini. Kepala mereka telah terlebih dulu dipenuhi narasi-narasi kekalahan dan kemunduran sepak bola Indonesia.

Akan tetapi, siapa sangka tim yang ‘biasa saja’ ini mampu menjejakkan kakinya di babak pamungkas, final. Dengan cerita yang teramat mirip hampir di setiap turnamen; terseok-seok di babak grup, bertemu Vietnam di semifinal, lalu berjumpa Thailand di final. Kalau mau dilanjutkan dengan hasilnya, biar anda tarik sendiri kesimpulannya: sebelum final semalam, 7 kali Indonesia bertemu Thailand di final apapun, kelompok umur berapapun, 5 diantaranya dimenangkan oleh Thailand. Saat sudah dipastikan bertemu Thailand di final, orang yang optimis pasti langsung mengipasi dirinya dengan mantra-mantra penenang. Thailand yang dulu bahkan tidak terdengar gaungnya, kini seakan menjadi momok bagi masyarakat kita.

Apalagi di turnamen AFF u-22 2019 ini, perjalanan Thailand ke final mulus tanpa ampun. Tanpa kekalahan dan tanpa kebobolan, kecuali saat harus melewati babak tos-tosan dengan kamboja di semifinal. Thailand kian tampak perkasa dengan jejeran pemainnya yang memiliki rekam jejak bermain di eropa. Pesona Thailand tampak menyilaukan rakyat Indonesia yang sedang dalam kondisi psikologi yang buruk. Namun, kondisi yang sama sepertinya tidak terjadi pada pasukan Indra Sjafrie. Hal itu tergambar dari hasil yang tercipta malam ini. Saat Osvaldo Haay mencetak gol kedua untuk memastikan kemenangan Indonesia, selebrasi yang ia lakukan adalah memasukkan jari telunjuk ke telinga, seolah ingin menyampaikan ‘aku menutup telinga untuk seluruh omongan kalian.’

Benar, meski tim ini ‘biasa saja’, tapi mereka tidak lepas dari kritik, intimidasi, dan provokasi. Baik di dalam maupun di luar lapangan, ada saja yang berusaha menjatuhkan mereka. Dulu, saya getol mengomentari soal mental anak-anak timnas kelompok umur yang gampang terpancing emosi dan tidak mau bersabar. Tentang star syndrome lah, ego dan individualitas lah, cara mereka menanggapi provokasi lah, dan banyak lagi. Namun, cara mereka bermain malam ini membuat saya tidak memiliki celah untuk berkomentar. Itu terlihat dari tepukan Marinus di dada pemain lawan, dibarengi senyum memperlihatkan gigi yang menandakan perdamaian. Terlihat pula dari betapa menyesalnya Bagas Adi untuk melanggar pemain Thailand yang berujung pengusiran dirinya dari lapangan.

Misi yang diusung tim besutan Indra Sjafrie di final kali ini bukan hanya sekedar ‘ayo menang, kita sudah bosan selalu kalah dari Thailand,’ tapi mereka juga ingin menunjukkan bahwa ‘inilah kami yang sudah mulai tumbuh dewasa.’ Segala carut-marut yang ada di tanah air sepertinya mampu membawa setidaknya satu dampak positif yakni mendewasakan pelaku terpenting dalam sepak bola: pemain.

Ya, memang begitulah seharusnya. Para stakeholder di federasi dan para pelakon di lapangan hijau harus saling menguatkan dengan caranya masing-masing. Tidak berlebihan sampai harus mengatur kemenangan atau bermain culas yang sejatinya hanya untuk memenangkan dirinya sendiri. Sepak bola adalah permainan kolektif, menang kalahnya tidak hanya dirasakan sendiri. Bahkan jutaan rakyat Indonesia turut bergembira saat timnas menang dan ikut kecewa saat timnas kalah.

Juaranya timnas u-22 malam ini adalah sebuah anomali. Mereka berangkat dengan segudang masalah dan ribuan cibiran di belakang. Menjadi juara dan meraih trofi mungkin tidak masuk dalam sangkaan siapapun, sepak bola Indonesia sedang sakit. Namun, hasil ini seakan memberi angin segar untuk kebangkitan sepak bola Indonesia. Jika dulu kebangkitan nasional ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo, kebangkitan sepak bola saat ini bisa jadi melalui prestasi yang menggembirakan ini. Sepak bola Indonesia harus sepak bola yang bersih, yang menghibur, dan sepak bola yang bermartabat.

Saya pribadi memiliki harapan tersendiri atas juaranya Indonesia malam ini, semoga dengan adanya piala ini membuat malu para begundal yang saat ini menjadi tahanan POLRI. Bukan malah senang dan merasa pantas untuk duduk lagi di kursi kehormatan PSSI. PSSI bukan tempat untuk orang yang ingin menang sendiri, untung sendiri, dan bahagia sendiri. Pahit dan manisnya sepak bola Indonesia harus lah rakyat Indonesia yang merasakan dan menelan bersama.

Akhir kata, satu hal: bangga Indonesia!

Komentar