(Bukan) Lupa Cara Menang



(13/7)

Di bawah langit Thailand malam ini, sebelas pemuda berpeluh memperjuangkan hidup dan matinya. Dengan baju putih-putih lengkap dengan kaos kaki putih, sebelas pemuda itu terus berlari. Mereka terus berlari, berlari, dan berlari, sampai sadar tidak sadar bajunya sudah bergumul dengan tanah. Warna bajunya sudah tidak lagi putih, begitu pula celana dan kaos kakinya. Namun, peduli apa mereka? Mereka terus dan tetap berlari. 


Tepat di menit 83, wasit meniup peluit panjangnya, menyudahi pertarungan yang berlangsung hampir satu setengah jam itu. Sebelas pemuda itu menyeka peluhnya. Namun, ternyata lebih dari itu, beberapa dari mereka turut menyeka air mata yang begitu saja menetes membasahi pipi mereka. Perjuangan selama 240 menit yang telah mereka lakoni terasa tidak berarti apa-apa, pun 160 menit yang akan mereka jalani. Semua selesai ketika sang pengadil lapangan membentangkan tangannya ke depan sembari meniup peluit panjang. 

Mereka adalah skuad timnas u-16 Indonesia. Dengan kekalahan telak 7-3 dari Australia malam ini maka selesai sudah perjuangan mereka di ajang AFF tahun ini. Dua pertandingan yang akan mereka lakoni sudah tidak cukup mampu membuka asa menuju semifinal sekalipun mereka menang. Cukup disayangkan memang, ekspektasi besar yang selama ini dibebankan kepada mereka bisa dibilang tidak terbayarkan. Namun, lebih disayangkannya lagi, besarnya ekspektasi rakyat itulah yang menurut saya terlalu prematur untuk dibebankan kepada mereka. ya, ekspektasi memang bukan sekedar ekspektasi, dari serangkaian uji coba yang mereka lakoni memang sangat pantas mereka menjadi harapan rakyat yang masih belum hilang harapan, tapi saya rasa belum saatnya mereka memikul beban seberat itu, Target yang paling realistis bagi mereka adalah pembinaan usia dini. Diharapkan anak-anak inilah yang akan menjadi generasi emas sepak bola Indonesia di masa depan.

Tidak ada yang salah dan perlu disalahkan di sini. Biarlah ini menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi mereka. Bagaimana diusia yang begitu belia mereka harus dihadapkan dengan beban yang begitu besar dan terlepas dari itu tidaklah mudah sekalipun mereka ingin. Saya pribadi melihat mereka seperti tidak lepas, tidak santai, dan tidak nyaman bermain. 

Aturan untuk seusia mereka, bermain sepak bola itu untuk menyenangkan hati mereka. Mereka tidak perlu bermain untuk menang atau untuk menyenangkan orang lain. Cukup senangkan diri, buat diri senyaman mungkin di lapangan, permainan cantik akan keluar dengan sendirinya. Bakat mereka adalah bakat alami, anugerah yang tidak bisa dibohongi. 

Usaha mereka pun tidak boleh dianggap sebelah mata, mereka telah bekerja keras. Bagaimanapun kita harus percaya mereka telah memberikan kemampuan terbaik mereka. Namun, hasil tidak bisa bohong. Hasil ini bukan berarti perjuangan mereka sia-sia, latihan-latihan mereka selama ini tidak berarti. Hasil ini merupakan cambuk untuk mereka bekerja lebih keras dari sebelumnya, berdoa lebih giat dari sebelumnya, untuk mencurahkan kemampuan yang lebih dari sebelumnya.

Saat sebelas pemuda itu satu per satu jalan keluar lapangan, mereka harus tetap bangga, mereka harus tetap memastikan kemampuan mereka telah seratus persen tercurahkan. Mereka harus tetap bangga, karena mereka kalah dengan kepala tegak, mereka kalah secara terhormat. Karena sampai detik terakhir mereka tetap berjuang, mereka tetap percaya keajaiban bisa datang kapan saja, mereka tetap percaya kesuksesan tengah menanti mereka di depan sana. Melihat kondisi ini pikiran saya langsung terbang mengingat suatu kutipan yang pernah Bambang Pamungkas, legenda hidup sepak bola Indonesia katakan: ‘Akuilah kekalahan dengan elegan. Dengan mengakui kekalahan dengan elegan, maka kita akan lebih siap menerima kemenangan. Kita akan menjadi pemenang yang baik karena pernah merasakan kekalahan.’

Hal ini terlalu dini untuk kalian sesalkan, hai Garuda Asia. Perjalanan mu masih panjang. Sayapmu masih akan terus mengepak sejauh mata memandang. Garuda di dada kirimu masih bersedia engkau tepuk-tepuk, engkau cium-cium kala jala gawang lawanmu terkoyak. Teruslah berjuang, jadikan hal ini sebagai pengalaman, sebagai suatu perjuangan yang nantinya akan kau kenang. Bersyukurlah dengan kesempatan ini, karena tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama denganmu. Bersyukurlah dengan kepercayaan yang kau genggam, karena dengannya kau telah membuktikkan keberanianmu untuk mencoba.

Terakhir, Lagi-lagi saya teringat kepada kutipan di salah satu tulisan Bambang Pamungkas: ‘Jika kita berhenti mencoba, kita tidak lebih dari pengecut.’ 

sekian.

Komentar