Shalahuddin Al Ayyubi, Dunia Menanti Pemuda Seperti Mu


Shalahuddin Al Ayyubi, macan perang salib.

 Lahir di Thikrit (saat ini daerah utara Irak), tahun 532 H. saat ia lahir, Thikrit sedang dalam kecamuk perang. Saat itu, ayahnya, Najmuddin Ayyub, sedang mengalami masalah yang pelik, sampai-sampai ia pernah berujar, "Andai anakku tidak lahir disaat perang seperti ini." Sungguh tanpa mengurangi rasa ikhlas atas takdir Allah. Karena perang itu pula, Najmuddin Ayyub terpaksa membawa Shalahuddin kecil hijrah ke Mosul, Iran dibawah rezim Imanuddin Zanky saat itu.

  Di Mosul, Shalahuddin kecil mendapatkan pendidikannya, salah satunya adalah teknik perang yang kelak menjadi keahliannya. Dibawah kepemimpinan daulah Zankiyah, Shalahuddin tidak sedikit melihat pertumpahan darah yang dilakukan Imanuddin Zanky beserta tentaranya untuk membebaskan wilayah islam warisan daulah Abbasiyah dari pasukan salib.  Dari situlah, dalam hati Shalahuddin terpancar semangat berkorban bagi umat muslimin.

  Semangat berkorbannya semakin menjadi saat Nuruddin Zanky naik tahta menggantikan ayahnya, Imanuddin Zanky yang wafat. Saat itu pasukan kaum muslim berhasil memojokkan pasukan salib sampai ke pinggiran Syam. 

  Dibawah kepemimpinan Nuruddin Zanky, pusat kota daulah Zankiyah pindah ke Damaskus. Di Damaskus inilah, Nuruddin Zanky memberikan kesempatan bagi Shalahuddin untuk berbuat lebih banyak bagi pasukan muslim. Dari mulai penjaga pasukan, sampai akhirnya Shalahuddin dikirim ke Mesir untuk menyatukan akidah penduduk Mesir dari syiah menjadi sunni. Masyarakat khawatir Shalhuddin tidak berhasil di Mesir, tetapi keyakinan Nuruddin Zanky bahwa Shalahuddin, yang sedikit berbicara tapi banyak berbuat, akan menggebrak pasukan salib. Dan, benar, Shalahuddin kembali ke Damaskus membawa kabar kemenangan. 

  Perlu diketahui, Shalahuddin Ayyub sangat mengidolakan Nuruddin Zanky, karena sosok beliau yang bersahaja dan bijaksana. Dari inspiratornya ini, Shalahuddin belajar banyak. Hingga akhirnya tercetuslah wacana pembebasan kota suci Al Quds. Dengan tujuan yang sama, Shalahuddin  dan Nuruddin beserta kaum muslim bersatu untuk mengusir pasukan salib dari bumi islam. 

  Wacana itu baru terealisasi saat Shalahuddin Ayyub naik tahta menggantikan Sholih Ismail, anak Nuruddin Zanky yang masih kecil, saat itu pula Nuruddin Zanky wafat. Hal pertama yang dilakukan Shalahuddin adalah hal yang kecil yang sering dilupakan oleh pemimpin saat ini, yaiut persatuan. Tidak hanya duduk untuk berdiskusi, tapi juga menyatukan akidah. Karena kesamaan akidah akan membuat barisan yang terbentuk nantinya akan kokoh. Shalahuddin adalah salah satu pemimpin yang sangat memperhatikan kemajuan akidah islamiyyah di daerah kekuasannya, salah satunya yaitu, dengan melakukan pemantauan salat subuh berjamaah. Shalahuddin kerap berkeliling dari satu masjid ke masjid lain demi melihat rakyatnya salat subuh berjamaah dengan baik. Dengan kerja kerasnya inilah akhirnya, wilayah-wilayah bagian merapat ke daulah Ayyubiyah. 

  Pada tahun 583 H, di daerah Hitin, Tiberias, Shalahuddin dan bala pasukannya menyerang pasukan salib demi bisa masuk ke kota suci Al Quds. Selama berhari-hari pasukan muslim berjibaku untuk menyudutkan pasukan salib. Hingga akhirnya, raja dan pasukan salib berhasil ditawan. Dengan menggemakan takbir, Shalahuddin membakar semangat jihad pasukannya. "Wahai pasukanku, kota suci Al Quds sudah di depan mata, hanya dengan mengahancurkan tembok ini saja, kita sudah dapat memasukinya, Allahuakbar! Allahuakbar!"

  Dengan semangat juangnya, akhirnya Shalahuddin Ayyub mendapatkan kembali kunci kota Al Quds. "Demi Allah, Allah telah memenuhi janjinya, apa yang bagi kami jauh, sesungguhnya bagi Allah dekat." Takbir menggema di seluruh penjuru kota. Saat itulah kali kedua kota Al Quds jatuh ke tangan islam dibawah rezim Shalahuddin Ayyub sebelumnya takluk di tangan Umar ibn Khattab r.a. Shalahuddin masuk kota Al Quds dengan tenang dan damai. "Wahai Shalahuddin, ku serahkan kunci kota Al Quds ini padamu. Sungguh, kau telah menghancurkan legenda kami, dan kau buat sendiri legenda mu." Ujar Raja Salim, pemimpin kaum salib saat itu. 

  Enam tahun sejak Al Quds jatuh di tangan kaum muslim, Shalahuddin Ayyub kemudian wafat dengan tenang. Tepatnya pada tahun 589 H, Shalahuddin meninggal setelah menorehkan sejarah apik, ia merupakan sosok yang sederhana, bersahaja dan bijak. Konon, sikap seperti ini pulalah yang menyebabkan Umar ibn Khattab r.a dapat menaklukan Al Quds. 

  Dan saat ini, dunia tengah menanti sosok-sosok yang memiliki sifat-sifat seperti ini lagi untuk merebut Al Quds untuk ketiga kalinya. Ingatlah perkataan Ibnu Qayyim r.a : "Kenikmatan tidak bisa diraih dengan kenikamatan." Bisa dilihat bahwa untuk meraih kemenangan atas pasukan salib, Shalahuddin harus rela baku tembak dan meninggalkan kesenangan dunianya. Kemudian Ibnu Qayyim r.a melanjutkan : "Sesungguhnya kebesaran itu diraih dengan kesabaran, tidak ada kelezatan bagi orang yang tidak bertekad, dan tidak ada istirahat kecuali bagi orang yang lelah." Barakallah Shalahuddin.

"Saya meminta kekuatan, dan Allah memberi saya kesulitan untuk membuat saya kuat. Saya bertanya tentang kebijaksanaan, dan Allah memberi masalah untuk diselesaikan. Saya meminta untuk kemakmuran, dan Allah memberi saya tenaga untuk bekerja. Saya meminta keberanian, dan Allah memberi saya bahaya untuk diatasi. Saya meminta cinta, dan Allah memberikan orang-orang bermasalah untuk dikasihi. Saya meminta nikmat dan Allah memberi saya peluang. Saya tidak meminta apa-apa untuk diri saya, tetapi saya menerima semua yang saya butuhkan" -Shalahuddin Al Ayyubi
  

Komentar

  1. saran gan, backgroundnya gelap, itu quotesnya warnanya gelap. agak susah bacanya gan, whehe

    BalasHapus

Posting Komentar