Seperti Hidup Kembali




Sudah satu jam ini, aku diam menatap kertas putih itu. Sudah sejak tadi aku merayapi muka kertas suci itu, tapi entah apa yang akan ku tulis, beberapa saat tadi aku seperti terdorong untuk memulai kembali hobi lama ku, yaitu menulis. Tapi saat ini, otak ku seakan macet, tak ada ide apapun tertuang, musik ku setel berharap ada sesuatu yang bisa ku ceritakan, tapi nihil. Kadang aku berpikir, apakah semakin tua umur kita, semakin mengerut otak kita. Aku tak tahu pasti, yang pasti sekarang aku sedang bingung, perasaan, dulu waktu masih umur awal belasan tahun, pena ku lincah memenuhi kertas, otakku mengalir deras menuangkan berbagai hal yang terjadi dalam sekitar hidup.
Setelah berusaha sekeras mungkin memunculkan sesuatu yang bisa ku ceritakan, sampai berkeringat, akhirnya aku menyerah. Aku harap aku menyerah pada hari ini saja, hari esok dan esok semoga aku tak menyerah untuk memeras otakku lagi.
Aku pergi dari hadapan kertas itu, kertas itu seakan melambaikan tangan, berharap aku menjumputnya lagi dari dalam kardus. Aku duduk termenung di depan jendela, menyaksikan film singkat yang tercipta atas izin-Nya. Hingga matahari mencapai tempat kembalinya pun, aku masih meratapi diriku, betapa payah nya diri ku kini.
*
Hampir setiap sore hari belakangan ini aku hanya memandangi tumpukan kertas kosong yang ingin hadir nya tak sekedar penghias meja belajar. Ingin rasanya aku menggoreskan sedikit saja cerita yang hadir sepanjang hidup ini, tapi aku terlalu takut untuk salah. Ahh, gamang rasanya, bimbang, antara iya dan tidak, antara berani dan takut.
Tapi yang sebenarnya ini bukan masalah berani atau tidak, tapi masalah pantas atau tidak. Aku lebih takut jika nantinya cerita ku ini tak dibaca dan hanya seonggok file yang basi di meja redaksi. Hari-hari belakangan ini aku lebih sering mengunjungi perpustakaan dan mencari refrensi novel, aku ingin mencairkan lagi otak ku yang mulai membeku ini.
Belum ada perkembangan berarti saat ini, hanya aku yang mulai menemukan beberapa kata baru yang bisa ku kembangkan. Oke, ku bulatkan tekad, bersungguh-sungguh, fokus.
Sore ini kembali aku mengambil secarik kertas, jemari ku menari di atas kertas itu. Satu lembar dua lembar tiga lembar, perjalanan menulis ku terhambat untuk ke sekian dan sekian kalinya, kini ide baru muncul dalam kepala ku, aku gerah, kenapa tidak dari kemarin oh Tuhan, aku berteriak dalam hati. Aku berusaha menekan ide baru itu agar tidak memecah jalan cerita yang telah ku buat 3 lembar HVS ini. Tidak mudah membuat cerita ini, aku tidak hanya ingin berbeda dari yang lain, aku juga ingin tidak ada halangan lagi. Kalau begini terus, bisa-bisa target seminggu terlampaui jauh.
Bertarung dengan banyak ide yang bermunculan, di situlah kesulitannya, kita harus bisa menekan keluar ide-ide yang tidak ada hubungannya dengan cerita yang sedang kita bikin, atau boleh ide-ide itu kita tulis untuk suatu hari nanti dikembangkan menjadi sebuah cerita yang sesungguhnya.
Tepat seminggu akhirnya cerita pertamaku -sejak kebuntuan otakku- selesai. Aku sempat ketar-ketir cerita ku tak jadi seminggu yang berarti otakku benar-benar mengerut.
Esoknya segera ku kirim pada sebuah surat kabar yang setiap pekannya memuat cerita pendek dari para pembacanya. Lembaran kertas itu ku lipat bersama data diri ku, ku masukkan ke amplop dan pada bagian depannya ku tulis alamat kantor pusat koran tersebut.
Kekhawatiran ku mungkin benar adanya, sudah sebulan sejak aku mengirimkan cerpen tersebut, tapi aku tidak mendapat kabar apapun dari mereka. Kalau begini jadinya, mimpi ku mengirimkan file cerita ke penerbit adalah sesuatu yang mustahil. Aku sudah malas duluan kalau begini. Dasar ABG, moody-an, batinku.
*
Aku berjalan gontai menuju ruang guru, kata Afra, teman sekelasku, aku dipanggil guru bahasa Indonesia. Ada apa lagi ini, racau ku dalam hati.
“Nak, maukah kamu mengikuti seminar ini?” Bu Ina memberikan selembar brosur. Seminar Kepenulisan “Be a Good Writer”, begitulah yang tertulis di sana. Aku bengong, kenapa harus aku? “Kamu adalah kapten tim jurnalistik nak,” seakan Bu Ina memiliki telepati dengan ku, dia menjawab enteng. Dengan sedikit terpaksa aku mengangguk. Bisa saja seminar ini jawaban dari Allah atas mampet nya otak mu, bisikan “malaikat” mendengung. Tapi kalau sedang badmood gini gak akan masuk ke otak, kini “setan” giliran membisiki. Dari dalam diri ku sendiri sebenarnya aku setuju dengan “malaikat” ini, tapi aku juga tak menyangkal “setan” itu.
Sesaat sebelum berangkat ke tempat seminar, aku masih badmood, tapi setelah aku meminum jus alpukat-nya mbak kantin, yang terkenal moodboster, juga sapaan teman ku riang sementara ini bisa mengenyahkan pikiran tentang cerpen -tak diterima- itu.
Ternyata ramuan alpukat  plus susu kental manis coklat itu hanya bertahan sebentar. Dalam seminar selama 2 jam itu aku terus gundah, perkataan pembicara itu hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri dalam sekejap, numpang lewat doang. Tapi, aku juga tidak mau sepenuhnya rugi di dalamnya, aku merekam ucapan pembicara itu dengan tape recorder yang di bawakan sekolah. Jadi, besok-besok aku bisa kembali mendengarkannya.
*
Aku memulai semua dari nol lagi, setelah sekian lama aku tinggalkan. Tidak mudah justru cenderung sulit. Aku harus menghidupkan lilin di otakku agar otakku tidak beku, aku harus memompa otakku agar tidak mengerut. Mengamati kejadian sekitar cukup membantu menurunkan ide yang mampat di otak tanpa bisa digambarkan.
Akhir-akhir ini aku merasa diriku rapuh, cepat putus asa, ragu. Entahlah, aku hanya ingin memulai semua tapi sedikit gagal.
Aku memulai menulis –lagi-, kali ini aku begitu berharap tulisanku diterima. Dan aku bisa mulai memasang target ke penerbit. Aku memakai tema sederhana, ku berharap -sekali lagi- bisa diterima.
Tidak lama, hanya sekitar 4 hari aku menyelesaikannya. Aku percaya aku masih memiliki bakat menulis ini, hanya saja sekarang sedikit tumpul karena jarang diasah. Mungkin sama seperti pensil yang tumpul sehingga hasilnya kurang di senangi orang, tulisan ku yang terhasil dari otak yang tumpul juga kurang disenangi orang.
Satu hal yang aku lupa tentang cerpen ku yang pertama, aku belum meng-editnya, setelah ku dengar lagi seminar yang waktu itu, memang edting itu hal yang perlu, tak sekedar itu tapi juga penting. Sekarang, di cerpen kedua ku, aku meng-edit sedemikian rupa, ya tujuannya satu tadi, diterima.
*
Hari ini, ayah tidak bisa mengantarku ke sekolah, terpaksa aku berangkat sendiri. Aku harus berjalan ke ujung jalan untuk menyegat angkot. Dari rumah ku ke ujung jalan cukup jauh, apalagi aku jalan kaki, jadi aku harus berangkat lebih awal hari ini.
Sepanjang jalan ini, aku terus melewati jejeran rumah yang di depannya terdapat kandang bagi hewan ternak mereka. Aku melihat lapak koran berjejer, ingin rasanya mencomot salah satu koran, dan kulihat rubrik cerpennya, apakah ada ceritaku di sana?
Tapi waktu terus mengejar, ku putuskan untuk lanjut jalan. Aku tidak mau mencatatkan nama ku dalam buku pelanggaran.
*
Seperti remaja kebanyakan, aku kalau sedang bingung mau ngapain ya buka handphone  aja. Tapi aku gak kecanduan lho, aku cuma buka kalau butuh. Dan siapa yang menyangka, ketertarikan ku untuk membuka hp tadi, seperti di dorong oleh Tuhan, dalam notifications hp ku ada 2 sms, satu sms dari Afra, satunya lagi sms dari.... Redaksi ‘Kabar Harian’, koran dimana cerpen ku tujukan. Isinya pemberitahuan bahwa cerpen ku akan terbit pekan depan.
Aku tak bisa menahan bahagia ku, seketika aku berlari, mengumumkannya pada keluarga ku. ibu ku langsung memelukku, kakak-kakakku memberi high five, Yeay!
*
Aku percaya, orang yang tidak pernah menyerah untuk suatu yang diharapkan, pasti, pasti, dan pasti suatu saat ia bisa meraih harapannya itu. Dan sepertinya aku sedang merasakannya, kini aku mulai rutin mengirimkan cerpen ku ke surat kabar, aku mulai berani mengirimkannya ke lebih dari satu surat kabar. Tahun depan pun aku menargetkan dapat mencetak buku tentang antologi cerpen ku.
Aku yang dulu turun dan tenggelam dalam keruwetan, mulai bangkit, dan kini aku bisa merasakan kebangkitan itu. Walau sudah diatas, aku berharap berkaca pada padi, yang kian berisi justru kian merunduk, akan ku gunakan bakat ku ini untuk bisa bermanfaat bagi orang banyak. Karena aku percaya, kita merasakan kegagalan agar kita siap merasakan kebahagiaan dikemudian hari.
Dengan keyakinan ku ini, aku mulai bisa membuat orang di sekitar ku bangga. Tak terkecuali diriku sendiri, Dhiya Asmara. Yang ‘hidup’ lagi setelah ‘mati’ beberapa saat. Ya, seperti hidup kembali.






Komentar